Oleh : Larassati Rna
Kelas : XI IPA 9
“Bodoh”, pekik Rana seraya mencoret tulisannya
sendiri. Sudah banyak halaman yang ia robek. Semuanya tergumpal dan berserakan
di mejanya. “Ayolah berpikir, Rana. Berpikir”. Tapi kepalanya seperti berhenti.
Tidak ada imaji yang memenuhi kepalanya, pun kata yang menggerogoti
tenggorokkannya.
Malam ini, semuanya mati rasa.
Rana memandangi lagi tulisan-tulisan yang
sudah tidak terbaca itu. Ia meringis, lalu merobeknya. Rana teguk kopi
cepat-cepat, seakan semua kata-kata yang dibutuhkannya terendap di
dalamnya. Tapi tak ada apapun selain
pahit.
Ponsel genggamnya tiba-tiba bergetar,
telpon dari Tanya.
“Ran? Lo masih idup?”, tanya Tanya seketika telpon terangkat.
“Nya, bacain gue puisi”
“Wait, what?”, Tanya terdengar terkejut
di ujung telpon. “Puisi?”
“Iya cepet. Bacain gue puisi apa aja”, tukas Rana tanpa menggubris
keterkejutan Tanya, “Atau, atau nyanyi aja deh”
Ada keheningan sesaat. Tanya masih
berusaha mencerna permintaan Rana yang
tiba-tiba, “Buat apa, Ran?”
Rana tidak menjawab. Ia menghela napas
berat dan memandang sekitarnya. Kamarnya
tampak tak karuan. Pantas saja. Kamar seperti ini bisa melahirkan imaji apapun.
“Ooh.. gue tau. Lo pasti lagi stres ngejar deadline ya?”, Tanya terkekeh.
“Jangan ketawa lo. Gimana nih? Stuck.
Gue gak ada inspirasi sama sekali”, Rana mengeluh.
“If you wait for inspiration to write, you’re
not a writer”, Rana bisa merasakan senyum Tanya ketika mengucapkannya,
Tanya melanjutkan lagi, “you’re a waiter”
“I don’t want to be a waiter” , pungkas Rana
cepat.
“Kalau begitu jangan menunggu inspirasi. Tulis saja. Tulis apapun. Writer or Waiter. You choose”
“Gue udah nulis macem-macem berlembar-lembar tapi enggak ada hasilnya,
Nya”, tukas Rana seraya memainkan gumpalan kertas dari mejanya.
“Lo kebanyakan mikir”
“Kalau nulis emang harus mikir!”
“Menulis
itu dari hati. Seperti pelukis. Pelukis gak pakai matematika buat menggerakkan
kuasnya. Tapi pakai hati. Gerakin pulpen lo pake hati. Jangan otak doang, Ran.
Jangan karena tekanan deadline”.
Rana terkesiap mendengarnya. Benar. Tanya
benar. Sedari tadi, yang ia lakukan hanya berpikir tentang deadline yang mulai menggedor-gedornya. Tapi tidak memberi
kesempatan hatinya untuk terbuka. Yang bergerak hanya jarum jam, tapi tidak
hatinya.
“Ketika novel gue jadi, nama lo bakal ada di halaman Thanks To”
“Dibold, ya”, Tanya tertawa.
“Bold, italic, underline dengan huruf
kapital”, imbuh Rana, ikut tertawa, “Terimakasih atas quote tadi. Super sekali, Mba Tanya. Bakal gue masukin di novel
nanti”
“Oke. Jangan lupa tambahin nama Dan Ponyter di bawahnya, ya”
“Lho? Itu bukan bikinan lo sendiri?”, Rana menaikkan alisnya, tapi
kemudian tertawa, “Gak jadi super deh, Mba Tanya”
“Hahaha, yasudah sana, lanjutin lagi tulisan lo! Kalau udah kelar
kabarin, ya!”
Rana mengiyakan, mengucapkan terimakasih
lagi, dan menutup sambungan. Ia memandang halaman kertas kosongnya lagi. Kini
sambil tersenyum sumringah, “Let’s do
this”
***
Halaman itu mulai penuh dengan
tulisan-tulisan acak, namun terbaca dan lebih sistematis. Rana mengagumi
halamannya lagi. Imaji sudah tumpah ruah ke kertas itu. Ternyata sedari tadi,
imaji tidak bersembunyi di endapan kopi.
Rana meraih gelas kopi dengan tangan
kanannya, sekaligus meraup telpon genggam dengan tangan kiri untuk mengecek
jam. Tetiba, ponselnya bergetar mengejutkannya.
Prakk!
Gelas itu terjatuh dari genggamnya.
Mendarat dengan posisi miring di meja. Rana terlambat. Kopi yang masih tersisa
telah merambat turun, melembar, dan merembes di pori-pori kertasnya.
Kertas yang baru saja dikaguminya.
“Ran? Gimana tulisan lo?”, suara Tanya terdengar berdenging. “Ran? Lo
udah selesai belum? Kok diem?”
“Tanya”, lirih Rana, memandangi dengan tidak percaya kertas kecoklatan
di hadapannya.
“Ya? Kenapa, Ran? Lo udah selesai? Gimana, gimana?”, Tanya terdengar
tidak sabar di ujung telpon.
Ada keheningan panjang setelahnya, sebelum
membuka mulut lagi, Rana berteriak frustasi, “TANYASYA PUTRI GUNAWAN. GUE GAK
AKAN NULIS NAMA LO DI DALEM NOVEL GUE!”