Sabtu, 15 Maret 2014

Senyum Biru

Oleh  : Aulia D Putri
Kelas : X IPA 2 

Kala itu langit mendung dan mentari tak menampakkan wajahnya nan indah. Ia tak bersinar seperti pagi-pagi biasanya. Entah apa yang dipikirkan sang mentari hingga ia enggan memberikan sebagian cahayanya untuk bumi ini. Tapi suasana tersebut tak mengurungkan niat Biru untuk tetap pergi ke sekolah.

Biru. Gadis berambut panjang ini bukan berasal dari keluarga berada. Ia hidup serba kekurangan di sudut kota yang kumuh dan bisa disebut tak layak untuk ditinggali. Setiap pulang sekolah, ia membantu ibunya berjualan tanpa kenal lelah. Warung kecil-kecilan inilah mata pencaharian keluarga Biru. Ayahnya telah meninggal semenjak Biru berada di Taman Kanak-kanak.

Jarak rumah Biru memang cukup jauh, tak heran jika Biru menjadi langganan amarah guru piket. Tak jarang pula Biru mendapat hukuman menulis karangan tentang pentingnya menghargai waktu. Beruntung Biru senang menulis, sehingga ia mudah menyelesaikan hukumannya. Entah sudah berapa puluh kali Biru mendapat teguran dari wali kelasnya. Bahkan beasiswanya hampir dicabut dikarena ia tak pernah datang tepat waktu. Tetapi apa daya, meskipun ia berlari ke sekolah, tetap saja ia terlambat. Ia tak memiliki kendaraan, naik angkutan umum pun tak bisa. Terkadang uang saku ia tak dapat pula.

Menulis selalu membuat Biru tenang. Biru suka tulisan. Tulisan itu indah, tulisan tak pernah berisi kebohongan menurutnya. Ia tak peduli meski harus menulis disetiap lembaran buku lusuhnya. Tulisan itu bagai udara bagi Biru. Semua anak disini tahu, Biru mendapatkan beasiswa dikarenakan tulisannya. Goresan pena serta imajinasinya mampu membuat pembaca hanyut dalam tulisannya. Tak heran jika Biru diikutkan kembali dalam perlombaan menulis cerpen tingkat nasional.

Walaupun Biru senang bersekolah disini, tetapi kebahagiaan Biru belum lengkap karena ia tak memiliki teman. Ia selalu berpikir apalah arti seorang teman. Ia memang tak percaya teman, ia sudah cukup menderita dengan mempercayai teman. Kenangan buruk terus menghantui Biru sehingga ia selalu menyendiri. Memang benar ia kesepian, tapi ia tak butuh teman. Ia hanya butuh sesuatu yang menguatkannya agar tetap disini sampai lulus, yaitu tulisannya.

Sampai suatu hari Noona, salah satu teman sekelas Biru mengetahui penyebab terlambatnya Biru selama ini. Rumah Noona pun ternyata tak begitu jauh dari Biru, ia beberapa kali menawarkan tumpangan pada Biru tetapi selalu ditolaknya. Biru seakan tak ingin dunia luar memasuki kehidupannya. Ia betah berlama-lama dalam kesendirian, bahkan ia tampak menikmati saat-saat sendirinya dengan bersenandung kecil sambil menuliskan imajinasinya.

Entahlah, semua anak di kelasnya menganggap Biru misterius. Biru tak pernah mau diajak ke kantin atau belajar kelompok. Ketika bicara pun pandangannya kosong, menatap ke bawah, bahkan jawabannya seringkali tak sesuai topik. Biru tak pernah tersenyum, entah apa yang dipikirkan Biru tentang teman-temannya. Ia terlalu sibuk dengan tulisan, sering kali ia mengasingkan diri di tengah ramainya ruang kelas. Memori pahit tentang pertemanan masih melekat di benaknya. Mentalnya belum cukup kuat untuk merasakannya kembali. Keberaniannya belum cukup untuk dekat dengan orang lain di sekitarnya.  Pengalaman masa lalunya terlalu gelap untuk ia selami kembali.

Tak ia pedulikan perhatian beberapa orang temannya. Baginya itu semua hanya perhatian palsu. Tak ia pedulikan simpati beberapa temannya. Baginya semuanya hanya didasari rasa kasihan. Dan ia berpikir ia tak butuh dikasihani. Hanya tulisan yang menguatkannya, yang ia butuhkan saat ini adalah ide-ide cemerlang yang mengalir agar ia bisa mengirimkan karyanya untuk diikutsertakan lomba menulis cerpen tingkat nasional. Menulis dan menulis, itulah kegiatan Biru beberapa hari ini. Berkali-kali ia berganti topik karena ia tak menemukan ide. Ia bingung harus bertanya pada siapa, ia tak punya teman. Temannya kini adalah tulisan, tapi ia masih berkutat dengan imajinasinya. Waktu hanya tinggal 2 hari lagi tetapi ia belum menuliskan apapun. Ia takut jika ia tak menyelesaikan tulisan ini beasiswanya terancam dicabut.

Keesokan harinya ia kembali terlambat masuk sekolah. Kini wali kelasnya sudah tak bisa menahan kesabarannya lagi. Sebagai hukumannya, Biru di skors dari sekolah. Sungguh tak terbayang olehnya bagaimana reaksi orang tuanya ketika mengetahui ia mendapatkan hukuman seperti ini. Biru keluar dari kelas dengan air mata menitik di pipinya. Ia tak sanggup lagi membendung kesedihannya. Ia di skors, ia belum sempat pula menyelesaikan tulisannya. 

Tiba-tiba dari dalam kelas Noona berlari menghampirinya. Namun Biru tak peduli. Ia masih hanyut dalam kepiluannya. "Biru... Jangan menangis. Aku mengerti perasaanmu" ucap Noona mengelus rambut panjang Biru yang terurai. Namun Biru tak menjawab apapun ia hanya meneruskan tangis isak pilunya. Noona mencoba menghiburnya namun Biru tetap menangis tak terpengaruh dengan celoteh panjang Noona. Akhirnya Noona mengumpulkan segenap keberaniannya untuk berbicara pada wali kelasnya. Ia kembali masuk ke kelas dan meninggalkan Biru terduduk sendiri disana.

"Teettt" bel berbunyi tanda waktu pulang tiba. Noona dengan cepat berlari menghadap wali kelasnya. Mencoba bernegosiasi. Beberapa menit berlalu wali kelasnya akhirnya mengerti. Noona keluar ruangan dengan hati lega. Berita baik ini harus ia beritahu pada Biru. Biru pasti sangat senang mendengarnya. 

Sebelum pulang Noona pergi mengunjungi rumah Biru. Biru sedang duduk melamun dihalaman rumahnya. Ia tak melakukan apapun, buku lusuh dan pena yang biasa ia genggam tak ada disana. Noona duduk di samping Biru. "Biruu aku punya kabar gembiraa." Ucapnya riang. Namun Biru hanya memanglingkan mukanya menatap Noona dengan pandangan kosong. "Kamu ga jadi di skors. Aku tadi bilang sama ibu wali kelas." Mendengar itu matanya langsung berbinar. "Benarkaahh?" Ucap Biru riang. Noona mengangguk meyakinkan Biru. Dengan spontan Biru memeluk Noona erat "Makasih Noona." Ucap biru. Noona membalas pelukan Biru. Tapi tiba-tiba Biru terdiam kembali. Noona heran melihatnya, ditatapnya Biru dengan pandangan penuh harap agar Biru sedikit terbuka terhadapnya. "Percuma saja aku tak jadi di skors Noon, beasiswaku akan segera dicabut." Ucap Biru lirih.
"Kenapa harus dicabut, Bir? Besok pagi aku akan jemput kamu, kamu ga akan terlambat lagi."  
"Aku belum menyelesaikan tulisanku, Noon. Aku gatau harus menulis apa. Aku ga bisa ikut lomba lagi."
"Aku tau kamu berbakat, aku yakin kamu bisa Bir. Tulisanmu itu penuh kejujuran, karena itu semua orang suka. Ayo kita buat tulisan, aku akan bantu kamu cari ide." Ucap Noona seraya menarik tangan Biru.

Akhirnya Biru berhasil menyelesaikan tulisannya. Wali kelasnya tersenyum puas karena tulisan Biru terkesan sangat nyata. Biru pun sudah tak terlambat lagi. Berkat Noona, kini Biru sadar teman temannya tulus memberikan perhatian dan simpati padanya. Ia sadar pengalaman masa lalunya seharusnya ia jadikan pelajaran bukan ketraumaan yang mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar