Sabtu, 16 Juli 2011

X5

Oleh: Resha R
@reshacr

Sudah satu tahun Mici belajar di kelas X5. Dia mendapatkan kelas di XI IPA 4 mendapatkan teman-teman yang mungkin menurut dia tidak baru lagi tetapi dia tidak begitu mengenal mereka. Mici baru saja pulang berlibur dan keesokan harinya dia langsung berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali untuk melihat kegiatan ols dan berkumpul jurnal. Sayangnya, sesampainya di sekolah ternyata dia salah jadwal, kumpul jurnal itu jam 9 bukan jam 8. Kecewa? Iya pasti. Akhirnya dia duduk di sofa sebelah ruang wakil kepala sekolah, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Tiba-tiba terlintas di benak Mici saat melihat mantan wali kelasnya melewatinya, X5.
      Mici mengingat kenangan X5. Saat pertama kali masuk X5, dimana anak-anaknya masih malu-malu untuk berkenalan, masih bergabung dengan teman-teman satu sekolahnya dulu. Tetapi bukan itu saja yang mengingatkan Mici, tapi saat Mici dan mereka foto kelas bersama wali kelas,saat mereka buka puasa bersama dengan memesan dari restoran teman sekelas, saat mereka menggalau bersama, dan masih banyak hal lagi yang sangat menyenangkan.
      “Ayo sekarang ambil makanan dan minuman kalian!” tiba-tiba suara salah satu panitia terdengar dari pengeras suara, membuat Mici mengingat kembali kegiatan PTKS yang sejenis dengan OLS. Bukan kegiatannya saja yang membuat Mici tertawa sendiri saat mengingatnya tapi saat mencari perlengkapan PTKS yang harus sama dengan 1 angkatan. Mici dan teman-temannya bekerja keras sampai malam hari untuk mempersiapkannya, tapi tetap saja masih ada yang salah. Selama 2 hari menjalankan kegiatan PTKS, kelas Mici pasti di panggil. Setelah kegiatan tersebut, Mici dan teman-temannya lebih sering di kelas, mereka berbincang-bincang tentang kelas mereka yang penuh dengan kenangan membuat Mici sedih.
      Hari pembagian rapot pun  datang. Alhamdulillahnya Mici dan teman-teman mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Setelah pembagian rapot itu, anak-anak X5 berfoto bersama dengan wali kelas mereka, dan mereka satu kelas pun menyanyikan lagu yang dijadikan yel-yel untuk kelas mereka.
      Kita sepuluh lima
      Ikut PTKS
      Hari ini hari yang terakhir
      Kita harus s’mangat
      Dan pantang menyerah
      Tolong panitia jangan marah
      Astagfirullahalazim
      Ingat kita, ingat kita
      Ingat kita sepuluh lima
      Ingat kita, kita lagi PTKS
      Berapakali di push up
      Berapakali di bentak
      Tapi kita semua masih tetap smangat
      Tetap ucap Alhamdulillah ya Allah
      Tetap ucap Alhamdulillah ya Allah
      (dengan irama dari lagu Wali – Tobat)
      lalu mereka berteriak “X5!!!GALAU BANGET!!!hahahahahaha”
      Ya itulah kenangan yang membuat Mici menitikan air mata lalu diapun tersadar dari lamunannya.

Kelas Ujung Lorong

oleh Intan Widya Anugrah

Kelas ujung lorong, ya itulah kelas kami ketika kami masih duduk di kelas X. Tempat yang jarang orang lewati kecuali mereka memiliki kepentingan dengan kami. X.7 nama kelasnya, di sebelah kelasku, terdapat satu kelas yang harus kami lewati setiap kali kami ingin keluar dari lingkungan kelas. Maklum kelas kami di ujung lorong atas gedung sekolah kami SMAN 2 Cirebon. Sederhana, tapi nyaman untuk kami, kami seperti memiliki wilayah kami sendiri, tidak perlu berpikir akan menggangu kelas lain yang akan melewati kelas kami.
Kelas ujung lorong mungkin sangat disesalkan untuk kami ketika kami mengikuti berbagai kegiatan di Smanda, yang mewajibkan kecapatan, dan kedisiplinan. Kami sulit untuk sampai tiba tepat waktu karena kami harus melewati anak tangga yang cukup banyak. Tapi kami tetap cinta kelas kami.
Kelas ujung lorong, selalu mendapatkan angin yang segar. Kami hanya tinggal keluar kelas dan menikmatinya kapanpun kami mau, kecuali ketika jam pelajaran. Sulit untuk di menikamti kelas kami ini, kecuali dalam masalah tertinggal informasi.
Kelas ujung lorong. Tempat dimana temanku setiap pagi menanti para mas-mas yang datang. Kami hanya bisa tertawa.
Kelas ujung lorong, hati kami masih di sana, walau kami harus mencintai kelas yang baru.

Ini Bukan Hanya Kelas, Ini Kelas Kami

Desy Istiyanti.N.S
@desydesy


Pertama kali memasuki ruangan pojok yang sangat dekat dengan gerbang membuatku ragu, hanya itu yang berputar-putar di isi kepalaku. Tersontak dengan wajah-wajah yang masih asing bagiku, awalnya aku hanya dekat dengan Ayunda. Maklum, kami dari SMP yang sama dan kami duduk sebangku pula sejak SMP kelas 9. Melihat sekeliling, hanya beberapa sosok yang ku kenal.
Waktu terus berjalan hingga kami merasakan eratnya pertemanan dalam kelas ini. Suatu ruangan yang terbilang cukup besar untuk 30 orang. Tanpa pendingin ruangan dan naasnya lagi jendela besar yang biasanya membuat rasa kantuk datang itu diubah menjadi celah-celah kecil di dekat dinding atas sana. Tanpa itu semua kami tetap bisa hidup (maaf lebay) seperti lingkaran yang berputar sebagaimana porosnya, itupun terjadi pada waktu yang menunjukkan kebersamaan singkat selama kurang lebih 1 tahun ini.
Kini, ketika kami sudah sangat dekat kami harus dipisahkan untuk kebaikan kami pula. Setiap individu pasti memiliki cita-cita dan setiap dari kami tentunya mempunyai berbagai cara untuk mendapatkan cita-cita tersebut terjadi dimasa datang.
Kata "banyak" sepertinya kurang untuk menyebutkan begitu banyaknya cerita dalam kelas kami ini. Dimulai dari kisah bingungnya setiap orang karena belum banyak yang dikenal, kisah perkenalan yang menjadikan ciri khas seseorang, kisah persahabatan yang mempunyai banyak filosofi tersendiri, hingga kisah cinta yang membuat hati melayang jauh ke angan telah terjadi di kelas kami ini.
Jadi, ini bukan hanya kelas, tapi ini adalah kelas kami. Kelas dimana kita bersama, menjalani berbagai rintangan dan kebahagiaan yang datang silih berganti.

Aku, Mereka dan Kelasku

oleh Nia Priscilla


Terlihat buku-buku tertata rapih di raknya masing-masing. Mulai dari buku pelajaran, novel, komik, biografi dan buku-buku lainnya. Aku menelusuri rak-rak buku yang ada di sana dan mulai mencari novel yang ingin kubeli. Saat ini, aku berada di Gramedia bersama teman-teman. Aku, Bella dan Desy menghabiskan waktu liburan kami dengan hunting buku dan makanan. Hm… rasanya nikmat sekali. Membaca buku dan suka makan adalah hobi kami. Mungkin, dari hobi kami itulah yang membuat kami menjadi dekat seperti sekarang ini. Aku kembali mencari  novel yang ingin sekali kubeli. Cukup lama aku mencari novel tersebut dan akhirnya aku menemukanya. Novel itu berjudul “Separuh Bintang”. Aku sangat tertarik dengan novel ini sejak membaca sinopsisnya, terutama dengan kata-kata ini “Cinta tidak membutuhkan alasan, jika alasan itu hilang cinta itu akan hilang bersamanya”. “Bagus banget!” kata-kata itu yang paling kusuka.

Setelah itu, aku mencari teman-temanku yang sedang sibuk mencari buku-buku kesukaan mereka. Seperti Bella yang suka buku-buku tentang sejarah, Desy yang suka sekali dengan buku-buku tentang psikologi dan aku yang suka buku-buku tentang teknologi dan juga novel. Mataku melihat sekeliling. Tiba-tiba bola mataku berhenti sesaat. Ada seseorang yang tersenyum padaku. Dia bukan orang yang sedang kucari saat ini tetapi wajahnya, juga tidak asing lagi bagiku. Aku melihat sekeliling lagi, barangkali dia tersenyum pada orang lain. Sepi. Saat ini tidak begitu banyak orang yang ada di tempat ini. Mungkin benar dia tersenyum padaku, bukan orang lain. Aku pun membalas senyuman itu dengan penuh kebingungan.

**

Saat ini, semangkok bakso ada di depan mata. Ini adalah makanan favoritku. Biasanya, aku langsung melahap makanan yang satu ini tanpa basa basi lagi, tapi untuk saat ini rasanya tidak ada hasrat untuk memakannya.

“Ra, tumben lo ga makan tuh bakso?” tanya Desy dengan muka bingung.

“Iya ra, tumben banget. Itukan makanan kesukaan kamu? Ada masalah ya?” tanya Bella dengan suaranya yang lembut. Bella adalah sahabatku yang paling kalem dan mempunyai suara selembut kain sutra. Membuat orang tenang ketika mendengar suaranya.

“Gue gapapa kok.” Jawabku dengan nada yang sedikit ketus.

“Ga mungkin. Ga biasanya lo kaya gini. Cerita aja deh, barangkali kita bisa bantu lo.” Terdengar suara Desy yang sudah penasaran.

“Hm…gue. Gue lagi kesel. Selalu aja kaya gini. Gue benci keadaan gue sekarang. Ga pernah mereka ngertiin gue. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Yang mereka pikirin di dunia ini cuma uang,uang dan uang. Ga pernah mikirin gue. Anaknya sendiri!” Jawabku dengan rasa kesal yang menggebu-gebu.

“Hey ra, setauku ini bukan kamu. Kamu selalu sabar ngehadapin semua ini. Tapi, kenapa sekarang kamu jadi lemah? Ini bukan kamu, Ra…..” Suara bella membuatku ingin mengeluarkan air mata yang selalu aku tahan selama ini. Aku pun juga tidak mungkin menangis di tempat yang ramai seperti ini. Ya..hari ini, kantin sekolah cukup ramai.

“Tapi, gue udah ngga kuat bel. Udah cukup rasanya gue ngalamin semua ini. Merasa terbuang, terasingkan di rumah gue sendiri. Mereka ngga ngenggep gue anak!!” Aku pun mulai menjatuhkan air mata sedikit demi sedikit. Apa benar ini Rara? Rara yang kukenal tidak pernah serapuh ini.

“Huss! Jaga omongan lo, Ra! Mereka itu orang tua lo! Jangan negatif thinking deh, coba ambil postifnya. Sekarang lo bisa sekolah di sekolah favorit, lo bisa beli barang-barang semau lo, lo bisa punya semua yang lo pengen!” Suara Desy terdengar agak meninggi.

“Gue….gue, ga butuh itu semua! Gue ga butuh harta yang melimpah, gue ga butuh barang-barang mewah. Gue cuma butuh mereka yang sayang sama gue kaya dulu. Gue…” suara tangisku mulai tidak terkendali. “Gue cuma pengen punya keluarga kecil bahagia, sama seperti temen-temen yang lain. Cuma itu mau gue.”

**

Aku sudah kembali seperti aku yang biasa. Tenang dan cuek. Aku sudah melupakan kejadian di kantin tadi, yang membuat seluruh isi kantin melihatku dengan terheran-heran. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Saat ini aku sedikit lega. Sahabatkulah yang selalu menenangkanku. Aku sayang sekali dengan mereka. Aku sudah menggangap mereka keluargaku sendiri. Mereka selalu menemaniku disaat senang atau sedih, tidak seperti keluargaku sendiri. Yang bertingkah tidak seperti keluarga.

Hari ini adalah hari ke 30, tepatnya 1 bulan aku sudah bersekolah di sekolah yang baru dan kelas yang baru juga. X6 adalah kelasku saat ini. Sangat nyaman sekali berada di kelas ini. Kelasnya memang tidak begitu besar dan juga tidak begitu kecil. Sangat sederhana. Hanya saja ada sedikit hiasan untuk meramaikan kelas ini. Seperti boneka-boneka, miniatur menara Eiffel, dan masih ada beberapa hasil karya seni anak-anak X6. Aku juga sangat suka dengan penghuni kelas ini. Sangat baik, ramah, pintar, suka menolong dan rasa kekeluarganya sangatlah erat. Itu yang paling aku suka. Tetapi, ada sesuatu yang selalu membuatku penasaran ketika sudah berada di kelas. Ada salah satu murid yang menurutku misterius dan selalu membuat aku ingin mengenalnya lebih lagi. Namanya Raka. Secara fisik, tidak ada yang “wah” darinya, hanya saja dia mempunyai wajah yang cukup manis. Sifatnya pun juga tidak ada yang unik. Dia terbilang anak yang kalem di kelas, sampai-sampai bella kalah kalemnya dengan Raka. Tetapi dia anak yang berprestasi, dia juga masuk sekolah ini melalui beasiswa. Sangat hebat menurutku. Tenyata masih ada anak zaman sekarang yang bisa berprestasi seperti dia, yang bisa masuk sekolah paling favorit di kota ini dan juga sangat aktif di berbagai kegiatan sekolah dan juga eskul. Kenapa aku bilang dia misterius? Ya…dia anak yang berprestasi di sekolah, dia anak yang pendiam dan satu lagi, dia selalu pulang sekolah tepat waktu. Tidak seperti teman-temanku dan juga aku yang sehabis pulang sekolah entah itu pergi bermain, kerja kelompok, mengerjakan tugas di sekolah, atau yang lainnya. Dia selalu pulang tepat waktu dan selalu terlihat buru-buru ketika bel pulang sekolah berbunyi. Entah kenapa, aku ingin sekali bisa lebih mengenal dia. Sampai saat ini pun aku dan dia jarang bicara, jarang mengobrol walaupun kita satu kelas. Tapi satu yang kuingat sampai saat ini, dia tersenyum sangat ramah padaku saat pertama kali aku masuk kelas ini.

**

“Huff…..capek sekali hari ini.” Aku duduk di bangku kantin dengan cepat dan nafas yang masih terengah-engah. Sekarang waktunya istirahat pertama. Kelasku baru saja menyelesaikan mata pelajaran olahraga. Olahraga hari ini yaitu; lari mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali, push up 25 kali untuk cewek dan 50 kali untuk cowok, sit up 25 kali dan skipping sebanyak 100 kali. HAH! Sangat menyiksa bukan?! Guru olahragaku memang lumayan killer. Beliau sangat displin dan tegas. Tidak ada seorang murid pun yang berani bolos pelajaran beliau.

“Iya, Ra. Pak Wirto nggak kira-kira nih. Capeknya bukan main.” Jawab Bella dengan nada kesal.

“Hahahahahaha, makanya dong kaya gue. Udah makanan sehari-hari kaya gini mah. Kecil.” Desy menjentikkan tangannya dengan rasa percaya diri yang tinggi. Desy adalah atlet basket di sekolah jadi tidak heran dia bisa dengan gampang melakukan “penyiksaan” tadi.

“Wuuuu.” Dengan wajah jail aku dan Bella bebarengan menyorakin Desy.

“Hehehehe, eh hari ini mau jalan ga? Katanya di Gramed ada diskon 15% loh, lumayan kan? Nah..pulangnya kita cari makan yang enak. Gue lagi ngidam mie ayam nih.” Tanya Desy dengan wajah yang sumringah. Kalau soal diskon dan shopping jangan tanya deh, dia itu rajanya shopping kalau ada barang-barang diskonan.

“Okeeee deh, siap bos.” Jawabku dengan lantang. Lagi pula sudah lama kami tidak pergi hunting buku semenjak liburan kemarin.

**
KRINGGGG…….KRINGGGG….

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas yang masih berserakan di meja. Tiba-tiba, aku menghentikan sejenak kegiatanku saat ini. Mataku tertuju pada gerakan berjalan yang cepat, siapa lagi kalau bukan Raka? Dia selalu terburu-buru saat pulang sekolah. Tapi kali ini……dia terlihat sangat buru-buru. Ada apa?

**

“Gimana? Dapet bukunya ga, Ra?” Suara Bella mengagetkanku yang sedang serius mencari  buku kumpulan soal kimia. Aku mempunyai inisiatif membeli kumpulan soal kimia karena mengingat mata pelajaran itu yang paling aku tidak bisa kuasai. Aku selalu mendapat nilai do re mi fa sol di mata pelajaran ini. Payah.

“Belum nih Bel. Dimana ya bukunya? Adanya juga kumpulan soal Fisika, kimianya ngga ada.” Jawabku dengan suara setengah pasrah.

“Coba aja tanya mas-masnya deh. Minta dicariin bukunya.” Jawab Bella dengan yakin.

Bener juga. Ngapain repot-repot nyari sendiri? Toh ada mba mas yang jaga. Dengan cepat aku mencari mas atau mba yang jaga.

Tak lama kemudian.

“Mas kalau bu…........” tiba-tiba mulutku terasa kaku. Seperti es yang Sangat sulit untuk menggerakkannya.
“Ra…..raka?! Ngapain kamu ada di sini?” Jawabku sedikit gagap karena masih kaget dengan kejadian yang saat ini aku alami.

Kini, di depanku ada seorang laki-laki yang seumuran denganku. Kemeja putih polos itu mengutupi kulit coklatnya. Terlihat juga sebuah name tag bertuliskan “Raka Anggara” menggantung di dekat kantong kemejanya.

“Hi Rara! Ada yang bisa saya bantu?” Jawab Raka dengan sangat sopan layaknya pekerja profesional.

“A….anu….eh…ini aku cari buku kumpulan soal kimia tapi adanya fisika.”

“Oh, tunggu sebentar ya, Ra. Aku carikan dulu.” Raka mulai berjalan menjauhi Rara yang sekarang masih diam terpaku.

Tak lama kemudian, Raka kembali dengan membawa buku berwarna kuning yang bertuliskan “1000 soal Kimia SMA”.

“Ini, Ra.” Raka menjulurkan tangannya dan memberikan buku tersebut dengan senyuman yang sangat ramah. Senyuman Raka. Senyuman yang sangat khas. Terlihat manis dan sangat cool.

“Eh iya, makasih ya Raka.” Jawab Rara sambil menjulurkan tangannya.

“Sama-sama, Ra. Aku balik kerja lagi ya.” Raka membalikkan badannya dan tiba-tiba dia merasa ada seseorang yang memegang tangannya. “Ka, hm…..boleh nanya ngga?”

“Nanya apa, Ra?” Jawab Raka yang mukanya mulai terlihat bingung.

“Hm….kok kamu bisa kerja di sini?” Tanya Rara dengan sedikit tidak enak hati.

“Oh soal itu…..Besok aku ceritain kok ra.” Raka mulai melangkah menjauhi Rara, tapi tak lama kemudian “Aku janji” Raka membisikkan Rara dengan lembut. Nafas Raka pun terasa dan Rara lagi,lagi diam membeku seperti patung. “Ini Raka yang ku kenal?” batinku berkata. Raka yang saat ini terasa sangat dekat, tidak seperti di kelas, yang cukup dingin dan tidak pernah mengajak bicara Rara. Membingungkan.

**

Deg-degan. Keringat dingin mulai bercucuran di seluruh tubuhku. Entah kenapa rasanya seperti ingin bertemu sesorang yang paling aku takutkan sedunia. Ya…istirahat pertama aku sudah punya janji bertemu dengan seseorang di dekat perpustakaan sekolah. Siapa lagi kalau bukan Raka? Kemarin, dia berjanji ingin memberitahukanku alasan dia bekerja sebagai pegawai di Gramedia. Dari kejauhan terlihat sosok laki-laki yang tidak begitu tinggi, tapi cukup proposional. Warna kulitnya yang kecoklatan pun sudah terlihat karena sinar matahari yang sangat terik saat ini. Sosok itu pun mulai mendekat. Raka datang dan langsung  duduk di sebelahku.

“Hi Rara.” Suara lembut Raka mencairkan suasana yang sedikit tegang.

“Hi, Raka.” Suaraku terdengar sedikit gagap. Dan aku masih belum berani menatap mata Raka. 

“Jangan tegang gitung dong, santai aja hehe. Oh ya jadi mau denger ceritaku ngga?” Tanya Raka dengan nada yang sedikit jail.

“Mau dong. Ngapain aku ke sini kalau ga mau denger cerita kamu? Hehe.” Akhirnya, aku bisa juga terlihat sedikit santai di depan Raka.

“Aku memang bekerja di sana,Ra. Di sana tempat manggangku. Aku senang kok bisa bekerja di sana, bekerja sambil belajar. Bisa baca buku sesuka hati hehe. Sepulang sekolah aku langsung bekerja sampai jam 9 malam. Makannya aku selalu terburu-buru kalau pulang sekolah, takut telat.” Suara Raka yang selalu terdengar lembut dan cool itu, kali ini berbicara cukup panjang. Biasanya, dia bicara ke Rara seperlunya saja. Baru kali ini dia bicara cukup panjang dan sangat friendly.

“Kenapa kamu mau bekerja? Hm…setau aku kamu punya keluarga yang bercukupan.”

Kali ini Raka tidak langsung menjawab pertanyaan Rara. Dia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. “Oh, soal itu.” Suara Raka berubah menjadi tak bersahabat.

“Ma..maaf Raka, aku ga maksud……” Omonganku tiba-tiba terpotong karena Raka dengan secepat kilat memotong pembicaraanku.

“Enggak papa kok, Ra hehe. Soal itu ya?” Suara Raka sedikit tidak terdengar. “Memangnya ada apa? Seburuk itukah alasannya?” batinku kembali bicara.

“Ra, keluargaku ngga kaya dulu lagi. Dulu keluargaku memang bercukupan tapi sekarang sudah berubah 180 derajat semenjak papah pergi begitu aja. Dia, dia selingkuh dengan perempuan lain dan sekarang aku ikut mamahku. Kondisi mamahku juga sekarang lagi nggak sehat. Jantungnya melemah. Makannya kemarin aku buru-buru banget pulang soalnya dapet kabar kalau kondisi mahah lagi ngedrop. Aku anak pertama dari dua bersaudara dan aku anak laki-laki jadi…aku harus menjadi tulang punggung keluarga. Ya, singkat ceritanya gitu, Ra hehe.” Lagi, lagi Raka melempar senyuman khasnya padaku. Ini Raka? Raka Anggara yang aku kenal? Teman kelasku sendiri? Kenapa aku ngga tahu tentang dia? Apa aku kurang peduli sama teman-temanku sendiri? Atau Raka memang pintar menutupi masalah seberat ini?

“Ka, memang aku ngga deket sama kamu. Tapi jujur. Aku selalu merhatiin kamu. Kamu itu tercatat dalam daftarku orang yang misterius. Kamu pintar, kamu berprestasi, kamu pendiam, dan kamu selalu terburu-buru ketika pulang sekolah, aku ngga tau pasti kamu seperti apa. Padahal kamu itu temen kelasku, harusnya aku lebih bisa berbaur dan mengenal teman-teman dan juga….kamu. Maaf Raka.” Hah? Ngomong apa aku?! Segampang ini menyalurkan semua pikiran yang ada di otakku? Bodoh,Ra!

“Ra, tau ngga? Kamu itu bukan hanya teman sekelasku di sekolah ini. Kamu juga temen kecilku.” Wajah Raku berubah kemerahan. Suasana pun semakin menegang.

“Hah? Teman kecil? Maksud kamu apa?” Bingung. Semua ini membuatku pusing. Teman kecil? Apa maksudnya? Benar-benar rumit.

“Hm…iya, aku temen kecil kamu, Ra. Dulu kita se-SD. Aku tahu kamu dari kelas 2 SD. Kamu pasti ngga tau aku, kita juga ngga pernah sekelas tapi, aku selalu memperhatikan kamu. Kamu adalah anak yang populer ketika itu, cantik,pintar dan baik. Jadi…aku ngga punya cukup keberanian buat ngedeketin kamu.” Muka Raka sangat memerah.

“Bener deh, aku masih ngga percaya.” Seluruh tubuh Rara lemas seketika.

“Iya, Ra. Aku anak yang ngga suka keluar kelas jadi kamu jarang liat aku. Kamu SD Merdeka 2 kan? Oh ya, kamu tahu ngga? Waktu liburan kemarin, aku seneng bisa liat kamu lagi. Setelah lulus SD kita belum pernah ketemu. Dan kita bisa satu sekolah, satu kelas malah.” Jawab Raka yang penuh semangat.

“Hah? Liburan? Kapan kita ketemu?” Aku semakin bingung.

“Kamu lupa ya? Waktu liburan kemarin, kamu ke sini. Aku liat kamu sama 3 temen kamu. Aku senyum ke kamu kok, kamu juga ngebales cuma…kaya ngga ikhlas hehehehe.” Suara jail Raka muncul kembali.

“Bukannya ga ikhlas, aku kan ngga kenal kamu masa tiba-tiba aku senyum ke orang yang ngga ku kenal. Ntar kegeeran lagi hehehe.” Suasana yang tegang tadi sudah sirna. Sekarang, aku merasa lebih dekat dengan Raka. Keinginanku juga terkabul, aku bisa lebih mengenal Raka. Raka Anggara teman kecilku.

**

Aku menjatuhkan diriku ke kasur dengan kasar. Rasanya hari ini melelahkan. Bukan lelah karena fisik, tapi lelah untuk berfikir dan menebak-nebak. Aku bermanja ria di kasur. Ini saat-saat yang paling menyenangkan. Bersantai dan tidak ada satupun yang menggangu. Orang tuaku seperti biasa sibuk dengan urusan kerjanya. Mereka sedang pergi ke Surabaya untuk 3 hari. Mbok min pun sedang pulang ke kampung, katanya anaknya sakit jadi harus pulang. Di rumah hanya tersisa pak Joni, satpam rumah. Aku anak tunggal jadi tidak ada teman di rumah yang bisa diajak ngobrol, lebih tepatnya berantem.

Foto itu. Foto aku, ibu dan ayah. Terlihat sangat bahagia. Foto itu terletak di meja belajarku. Tak sengaja aku melihat foto itu dan aku ingin sekali flashback. Ya…andai saja bisa mengulang waktu. Tiba-tiba aku jadi teringat Raka, dia masih bisa tersenyum, tertawa, berprestasi ketika keadaan dia yang harus menanggung beban berat. Dia masih bisa bersyukur dengan keadaan dia yang sekarang. Sedangkan aku?
Di sebelah foto itu terdapat kalender. Pada tanggal 28 Agustus, terdapat lingkaran yang cukup besar dengan warna merah dan ada tulisan “Happy Birthday Rara!” aku menaruh telapak tanganku ke jidat. Besok? Besok aku ulang tahun. Kenapa bisa lupa? Mungkin karena akhir-akhir ini banyak sekali tugas dan ulangan dan juga…masalah itu. “Besok bukanlah hari yang istimewa. Pasti.” Terlintaslah kata-kata itu di benakku. Tidak ada yang terlalu istimewa seperti tahun-tahun yang lalu, hanya surprise dari teman-teman dan….tak ada ucapan dari orang tuaku.

**

Jam menunjukkan pukul 05.10. Tumben sekali aku bangun pagi. Cuaca pagi ini juga bersahabat. Angin yang sepoi-sepoi masuk dari jendela kamar. Aku mencari-cari handphoneku. Barangkali saja ada sms masuk dari Bella atau Desy yang ngucapin selamat ulang tahun. “HAH?!” Aku terlonjak dari tempat tidurku. “Ibu? Ayah? Sejak kapan mereka ingat ulang tahunku?” Di layar handphone terdapat 4 pesan masuk. Dari Bella, Desy, Raka dan….ayah,ibu.

SMS itu berisi “Selamat Ulang tahun Rara. Jadi anak yang pinter, baik, patuh dengan orang tua dan menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Ibu dan ayah akan selalu sayang sama kamu. Maaf kalau ibu dan ayah tidak bisa di rumah, kami harus menyelesaikan pekerjaan kami di Surabaya. Tapi yang perlu Rara tau, kami akan selalu sayang sama Rara. PS: Ibu sama ayah sudah mempersiapkan kado di meja belajar kamu. Di buka ya, Ra. Semoga kamu suka.”

Kado? Aku langsung menuju ke meja belajarku. Sungguh sulit dipercaya. Ibu dan ayah memberikan aku kado?  Perlahan-lahan aku membuka bungkus kado yang berwarna hijau toska itu. Hijau toska adalah warna kesukaanku. Dalam bungkusan itu terdapat buku-buku dan beberapa novel yang aku pengen. Dan juga ada sebuah album foto yang isinya foto-foto aku ketika kecil sampai remaja saat ini. Demi Tuhan. Sulit dipercaya. Mereka masih peduli. Seharusnya aku selalu bersyukur. Aku  masih punya orang tua yang sangat sayang sama aku, walaupun mereka super sibuk. Harusnya aku mengerti keadaan mereka, bukan terus menerus aku ingin dimengerti sama mereka. Aku banyak belajar dari Raka, teman kecilku. Dia mengajarku untuk bersyukur dan untuk selalu menyayangi. Ya...bagaimanapun juga mereka orang tuaku. Keluargaku. Terimakasih Raka. Terimakasih kelasku. Kamu telah  mempertemukan aku dan teman kecilku. 


Kelas Lama

oleh Aulia Meytriasari Firmundia
@auliaw

Sosok itu terus mondar-mandir di depan papan pengumuman. Melihatnya mungkin orang-orang akan sedikit bingung, sebenarnya apa yang dia lakukan. Dengan seragam yang rapi, rambut dicepak dan tas selempang warna birunya, dia tetap mondar-mandir. Seperti menunggu sesuatu, tapi tak ada yang tahu apa yang ditunggunya.
                “Kamu nunggu pengumuman? Kan sudah ada? Kenapa terus mondar-mandir?”
                Sosok itu hanya tersenyum kecil sambil menggeleng. Diseragamnya tertempel papan nama bertuliskan ‘Harun A. S’. Mungkin anak baru, pikir anak-anak yang tengah berseliweran depan papan pengumuman. Karena daritadi dia sendirian, tanpa teman. Tapi anak baru itu sudah memakai seragam yang sama dengan mereka, bahkan terlihat agak lusuh.
                Adanya Harun yang terus mondar-mandir membuat anak-anak penasaran dia siapa. Siapapun yang mengajaknya bicara hanya dibalas senyuman, anggukan atau hanya gelengan kecil. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir anak baru itu.  
                Sesekali matanya memandang kearah gedung yang tengah dibangun. Gedung itu dirombak total untuk beberapa kelas baru di tahun ajaran mendatang. Tadinya gedung itu adalah kelas-kelas biasa yang sudah tidak pernah direnovasi selama sekolah ini berdirir. Entah kenapa gedung itu begitu membuat Harun tertarik. Beberapa kali dia menggumam, “Itu kelasku.”
                Harun memang tidak mengganggu, tapi dia benar-benar membuat penasaran.
                “Kamu anak baru?”
                Dia hanya tersenyum.
                “Oh anak sini, ya? Kelas berapa?”
                Dia mengangguk kecil.
                Si penanya mulai mengerutkan dahi, lalu menatap Harun lekat-lekat, “Dapat kelas apa?”
                Harun tetap diam, tapi tatapannya menghadap gedung yang tengah dibangun itu.

*
Aku tidak mengganggu, kok.
                Sudah seharian aku mondar-mandir di depan papan pengumuman, membuat orang-orang kebingungan, tapi aku tetap saja tidak menemukan jawaban.
                Mereka seharusnya mengenal aku, andai saja waktu tidak berjalan begitu cepat.
                Satu minggu lagi tahun ajaran baru dimulai, tapi tetap saja aku tidak menemukan kelasku. Apa aku sudah benar-benar begitu dilupakan oleh mereka sehingga namaku tak tertera didaftar kelas itu? Aku merasa kesal, apalagi dengan seenaknya mereka merombak kelas yang sudah aku anggap sebagai rumah kedua. Rasa-rasanya tidak adil. Gedung itu sekarang memang terlihat mewah, tapi tetap saja tidak mengundang rasa ingin kembali keruangannya.
                Aku tidak akan berhenti mencari, mungkin namaku terselip disana.
*
“Harun?”
                “Iya namanya Harun. Bapak tau?”
                Bapak itu mengerutkan alisnya yang sudah mulai berubah warna. Lalu bertanya dengan intonasi bingung, “Kamu lihat dimana? Tau darimana namanya Harun?”
                “Seminggu yang lalu, Pak. Waktu pengumuman pembagian kelas. Saya lihat dia mondar-mandir depan papan pengumuman. Yang lihat dia juga bukan saya aja, Pak. Saya kira dia anak baru, tapi katanya bukan,”
                “Anak kelas mana dia?”
                “Waktu ditanya dia enggak jawab sama sekali, Pak. Cuman senyum, geleng-geleng. Tapi dia ngeliatin gedung baru terus. Sepertinya kelasnya disana,”
                Bapak itu semakin mengerutkan keningnya.
                “Kayak yang cari-cari apa gitu, Pak… Kayak menunggu sesuatu.”
                “Duh, Nak… Bapak jadi takut,”
                “Loh, kenapa, Pak?”
                Bapak itu mengurut-ngurut keningnya lalu membuka mulutnya, masih dengan ekspresi bingung yang sama, “Karena pembangunan gedung baru itu… takut ada yang marah.”
                “Marah? Siapa, Pak?”
                “Ya itu… macam Harun.”
                “Hah?”
*
Ini kelasku.
                Tempatku menimba ilmu dengan giat, sampai akhirnya aku harus meninggalkan ruangan ini untuk selama-lamanya. Aku ingat bagaimana rasanya penyakit itu merembet ketubuhku, menghancurkan sistem otakku dengan cepat, dan aku terkapar begitu saja diruangan ini. Aku telah menggegerkan seisi sekolah.
                Memang sudah bertahun-tahun lamanya, tapi aku masih suka berada disini. Sedikit apek dan gelap, tapi tempat ini begitu menyenangkan. Sampai akhirnya benda-benda besar itu menghancurkan setiap sisi dari ruangan ini. Gedung ini hancur begitu saja. Selamat untuk anak-anak baru, kelas kalian baru.
                Tapi aku tidak suka.
                Aku mondar-mandir seharian saat pengumuman itu datang. Aku berharap namaku ada disalah satu daftar kelas, lalu orangtuaku datang untuk daftar ulang. Tapi aku hanya bisa berharap, kejadian yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu lamanya itu tidak akan terulang. Aku membiarkan diriku terlihat, tapi aku tak membiarkan kelasku hilang begitu saja.
                Mungkin sedikit gertakan akan membuat gedung-gedung itu kembali seperti semula.