Jumat, 01 Juli 2011

Yang Terbaik Dari "Pita Nyawa"

Seperti apa yang sudah dijanjikan sebelumnya, pada setiap tema yang diadakan kami akan memilih satu hasil karya tulis terbaik dari tulisan-tulisan yang sudah masuk. Dan setelah ditelaah, dicerna dan diamati.... hasil karya tulis terbaik dengan tema "PITA NYAWA" ini jatuh kepada Dita Sesylia F. dengan karyanya Pita Yang Berbeda.

Apa yang membuat kami memilih tulisan Dita sebagai hasil yang terbaik?
Sudut pandang yang diambil Dita dengan mengumpamakan pita nyawa sebagai lambang dari kepedulian penyakit HIV/AIDS menjadi tulisan dia 'berbeda' dengan tulisan-tulisan yang sudah masuk sebelumnya. Begitu juga dengan pemilihan kata yang teratur membuat kalimat-kalimat yang dituturkan Dita lebih enak untuk dibaca.

Selamat untuk Dita, terus menulis. Untuk #smandacivil juga semangat untuk terus menulis!

Realita dan Imajinasi Parade

Oleh : Dita Sesylia F.
@ditasesil

Ingatanku melayang bebas
Hendak meraih imajinasi
Membuat suatu fakta semu
Hanya dalam pikiranku

Tapi ini tidak seperti sedianya
Kini kumerasa terpenjara
Akan kongkalikong antara pengetahuan dan logika
Aku terhalang untuk menciptakan itu

Gempitanya parade takkan bisa kuraih
Semaraknya insan takkan bisa kurasakan
Keramaianpun takkan bisa kuciptakan
Dan semua itu hening mencekam

Di tengah teriknya sang surya
Takkan pernah kuterbebas
Sentilan kecil mampu merubah segalanya
Kudapatkan mentalku sedang diuji

Mereka sama namun berbeda
Menghancurkan ingatanku yang terlanjur indah
Kumelayang miris pada satu titik
Parade macam apa ini?

Kan Lagi Sikap Parade

Oleh: Yudhistira Dwi A.
@yudhistiradwi / http://pintabo.blogspot.com
1.
Pagi itu aku diantar oleh kakakku ke depan CSB dengan  vespa ungu kesayangan. Saat itu masih jam 4.50 pagi. Suasana masih sepi dan gelap ketika di perjalanan. Tapi sepi itu hilang ketika sudah sampai di depan CSB. “Nasi kuningnya mana?!”, “Eh, pita nyawa saya ketinggalan!”, “Tadi malem nonton bola ga?”, riuh suara peserta Orientasi Lingkungan Sekolah. Aku pun bergegas mencari gugus di mana saya berada. “Udah siap belum semuanya?”,  tanya Pak Lurah Gugus B Rangga. “Udah.”, sahut anggota Gugus B.
Kami pun beranjak menuju SMAN 2 Cirebon untuk mengikuti OLS. “Viva Smanda!”, teriak kami setiap bertemu dengan kakak kelas. Padahal kami tidak tahu dia panitia atau bukan. Begitu sampai lapangan kesan pertama yang terasa adalah tegang. Mengapa tegang? Mungkin karena saat itu kami semua tidak atau akan diapakan dan ditambah udara yang masih sejuk (baca: dingin menusuk tulang).
“Seluruh peserta harap berkumpul di lapangan dan buat barisan, CEPAT! Satu! Dua!Tiga...”, sambutan ketika kami baru datang. Seluruh peserta lari tunggang langgang, tapi tetap saja ada yang terlambat. “Sepuluh! Yang telat memisahkan diri, yang telat memisahkan diri!Cepat!”, sambutan kedua bagi yang telat. “Panitia turun!”, sambutan tambahan untuk yang sudah baris terlebih dulu. Kemudian yang telat tadi diminta untuk melakukan konsekuensi yang saat itu jarang kita lakukan, “push up”. “Ayo yang tadi telat semuanya push up! Hitungan ada pada panitia!”, suruh panitia. Kami yang tidak telat merasa sudah lega dan aman, namun kenyataan berkata lain. “Kamu terima temen kamu di-push up?!”, gertak mba-mba panitia. “Ngga mba...”, jawab kami yang ketakutan dengan gertakannya. Tapi entah kenapa semua itu berlalu dengan cepat hingga akhirnya kami diperintahkan sesuatu. “Komando saya ambil alih, seluruhnya! Parade siap gerak!”, komando seorang panitia. Hampir dari semua peserta bingung, apa itu parade siap gerak? Lalu tiba-tiba ada seorang panitia yang menyeletuk, “Sikap parade siap gerak tuh Cuma ngijinin kalian buat napas sama kedip! Itu doang!”. Penjelasan yang mantap, awalnya otakku menerawang yang aneh-aneh. Seperti misalnya, “Kalo parade berarti nanti ada banyak orang yang make baju seragam gitu ya?” atau “Berarti kita boleh loncat-loncatan yang ga jelas gitu dong di pinggr jalan?”. Tapi semua kekeliruan itu hilang, hati pun lega sampai tiba-tiba. “Yudhis!”, sahut seseorang. “Siap!”, menjawab dengan setengah rasa kaget. “Loh kenapa kamu ngejawab?! Inget sikap parade tuh apa?!”, sahutnya. “Gak boleh gerak mas!”, jawabku. “Loh?! Kamu kok jawab? Itukan sama aja gerak!”. Aku pun terdiam karena baru sadar hal itu dan memikirkan sesuatu, “Kalo udah  tau lagi parade ngapain manggil!”. Panitia yang tadi pun pergi menjauh. Aku pun melirik sekitar, banyak yang dicerca agar dapat berargumen dengan baik. Tapi apa daya, “kan lagi sikap parade”.
Lalu, “Parade selesai, balik kanan gerak!”. Tak lama kemudian, “Parade siap gerak!”. Dan, “Yudhis! Kenapa kamu gak jawab?!”.  Aku pun jawab, “Kan lagi sikap parade”.
2.
Kata parade adalah kata yang asing buat sekolah lain. Tapi tidak untuk Smanda, dan masih banyak lagi hal-hal aneh dan unik yang hanya ada di Smanda. Cuma sayang tema hari ini cuma “PARADE”. Sebuah tema yang begitu sempit dan sangat objektif. Tapi hal inilah yang membuat suatu karangan menjadi berbeda dan memiliki ciri khas karena kita diharuskan memutar otak untuk membuat sebuah karangan yang tidak melenceng dari tema yang ditentukan. Oleh karena itu kita harus PARADE kepada sebuah tujuan . Hehe...

Parade dan Kamu

oleh: Rizki Amalia Laksmiputri
@ikeelaksmiput
amaliawesome.blogspot.com

Parade hari pertama. Menghadap aula, panas menyengatnya matahari membakar punggungku. Mataku melirik ke kanan kiri,melihat ke arah kantin lalu memandangi beberapa orang yang berlalu lalang sembari membawa bermacam jenis es di tangan mereka. Menyeruputnya dengan keras, seakan menggoda kami para peserta OLS. Keringat berceceran ingin ku seka,tapi sedang parade. PARADE. Berdiri tegak diam tanpa melakukan apa-apa. Rasa panas,haus,lapar makin membuatku sebal.
Tiba-tiba segerombol laki-laki lewat, seseorang diantara mereka membuatku terpana. Padahal ia berjalan paling belakang, dia pun tidak tampan tapi.... ada sesuatu yang membuatku senang memandangnya. Rasa lapar, haus, panas dan mengantuk menguap entah kemana. Dia dan gengnya berjalan melewatiku,dia menoleh padaku. Seperti sadar aku memerhatikannya sedari tadi,ah rasanya wajahku memerah. Dia tersenyum, manis sekali. Dan bodohnya,a ku justru menunduk.
Saat aku sadar kebodohanku,dia pun telah berlalu. Aku hanya berharap dia akan lewat lagi untuk membeli berplastik-plastik minuman. Dengan konyolnya,a ku berharap dia memperlambat kecepatan berjalannya hanya karena berharap aku bisa memandangi punggungnya. Konyol bukan?
***
Parade hari kedua. Menghadap aula (lagi) dan berharap mas es teh (mas yang kemarin tersenyum kepadaku) itu akan lewat lagi seperti hari sebelumnya. Aku memanggilnya mas es teh karena diantara kelima temannya,hanya dia yang membeli es teh. Sebuah keunikan tersendiri bagiku.
3 menit parade berlangsung namun mas es teh belum menampakan batang hidungnya. Aku mulai gelisah. Aku jatuh cinta? Mungkin ya, mungkin tidak. Aku hanya ingin melihat senyumannya lagi, pasti akan menjadi batu baterei untukku sehingga aku bisa lebih semangat.
5 menit parade. Ya Tuhan,dia hilang entah kemana. Aku rindu senyumnya.
10 menit parade, aku sudah kehilangan semangat. Aku menengok pelan ke kanan ke kiri. Ada orang yang sedang berjalan, ada yang minum,a da yang makan, ada yang mengobrol,ada yang wudhu,ada yang memakai sepatu di depan mushola,ada yang... Stop,sepertinya aku mengenalnya. Aku mengerutkan keningku,mencoba untuk melihat wajah itu lebih jelas.
Pada menit ke-11 parade,aku berhasil menemukan mas es tehku. Dia baru selesai beribadah,wajahnya cerah sekali,merona. Dia memakai sepatu sambil mengobrol dan tertawa kecil bersama teman-temannya. Untuk yang kedua kalinya,senyumnya menyemangatiku lagi. Walaupun sebenarnyanya senyum itu bukan ditujukan kepadaku tapi aku bahagia. Melihat senyumnya membuatku ikut tersenyum.
***
Parade dan OLS hari terakhir. Masih menghadap aula seperti biasa. Kamu sang mas es teh bersama gerombolanmu sedang duduk manis di depan aula menonton kami sambil tertawa, mengobrol, menunjuk-nunjuk kami seakan kami adalah film kartun dan kalian adalah penonton berusia 3 tahun.
Parade selesai, panitia menyiram kami dengan berember air bunga. Kalian menertawakan kami. Aku tersenyum bahagia,akhirnya ini semua berakhir dan mungkin..aku bisa bertemu dengan mas es teh di lain waktu, selain saat parade. Mas es teh dan teman-temannya pergi ke kantin. Aku dan teman seangkatanku bubar,k ebanyakan dari kami ke kantin membeli minum. Aku pun begitu, membeli minum dan ingin bertemu orang yang ku kagumi selama 3 hari ini.
Sesampai di kantin, aku terkejut. Kau tidak sedang bersama gerombolanmu lagi,tapi bersama seseorang gadis cantik berambut sebahu. Kau tersenyum amat manis, memamerkan gigimu padanya.  Kau membagi es tehmu dengan gadis itu.
Detik itu aku sadar, kau hanyalah mas es tehku dikala parade. Parade lah yang menghidupkanmu. Di luar parade, aku harus terima bahwa kamu adalah kamu. Bukan mas es tehku.
 Aku hanya bisa diam,memandangmu, mengagumimu dari jauh. Menjadi pengagum rahasia, aku janji tak akan ada seorangpun yang akan mengetahui perasaan ini. Terasa sesak memang hatiku tapi aku senang melihatmu dapat membagi senyum dengan seseorang.
Oh ya. Hai mas es teh. Ternyata parade dan kamu memiliki suatu kemiripan. Sama-sama membuatku berdiri terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa.

Antara Pencopet, Koruptor dan Parade

Oleh : Menikha Maulida
@menikha

      Sinar matahari cukup terik. Waktu menunjukan pukul 12.30 WIB. Panas. Lelah. Letih. Lesu. Lunglai. Tak berdaya. Bagaikan mitokondria, organel penghasil energi dalam tubuh ini tak berfungsi sebagai mana mestinya. Rasanya ingin sekali membalikan badan ke belakang lalu bermetaforgana akan adanya air terjun yang deras dan di bawahnya terdapat sumber mata air dimana airnya bisa langsung diminum. Alangkah segarnya. Namun, sekali metaforgana ya tetap saja metaforgana. Hanya sebuah angan yang sulit dicapai karena pada saat itu, saya dituntut untuk “parade”. Sikap sempurna dimana kita tidak boleh melakukan gerakan apapun dan tidak boleh bersuara sedikitpun. Itu perintah, dan saya harus melakukannya. Wajah saya mulai terbakar panasnya matahari. Keringat yang keluar dari pori-pori keluar sedikit demi sedikit membentuk meniskus cembung yang pada akhirnya jatuh di atas bibir. Gatal rasanya ingin saya lumat saja. Jorok memang. Apa daya, sekali lagi saya sedang dalam lingkup “parade”. Huh, gerutu dalam hati terus menggebu. Kapankah akan selesai penderitaan ini?  Rasanya lima menit saja seperti satu hari, dan satu jam bagaikan satu tahun. Sungguh nista. Sempat terlintas dalam benak saya, lebih baik mencopet lalu mendapat uang secara kilat, daripada harus parade di bawah terik matahari dengan kondisi yang sangat tidak memungkinkan, lemah. Ya, menjadi pencopet. Pencopet mengerti parade? Tidak. mereka pasti tidak mengerti dan saya telah mebuat kesimpulan bahwa parade itu tidak penting.
      Paling tidak, jika besar nanti saya bercita-cita ingin menjadi seorang direktur perusahaan atau bagian dari parlementer Negara, pekerjaan yang tak perlu perjuangan secara fisik namun, sekejap saja saya bisa mendapatkan uang banyak. Mengambil uang rakyat, hal yang mudah. Apakah diperlukan dasar fisik parade? Tidak. Apalagi melawan panasnya matahari seperti yang sedang saya rasakan sekarang, parade. Untuk itu, saya ingin menjadi pencopet berpendidikan, koruptor. Tak harus merasakan parade lagi, yang saya rasakan adalah nanti kibasan uang yang membentuk kipas dan menghasilkan angin. Sungguh nikmat. Lagi lagi, saya buat kesimpulan bahwa parade tidak penting. Konyol memang. Pikiran saya terlalu dini untuk memikirkan semuanya. Setelah saya sadar, saya pikir lagi bahwa kedua hal diatas terlalu nista untuk dilakukan. Segala macam cara dilakukan hanya untuk melawan sebuah hal kecil, yaitu parade. Parah. Cara haram dilakukan. Lagipula, parade sangatlah mulia. Menurut saya, parade itu ditujukan kepada kita semua agar kita bisa menahan segala rintangan yang ada dalam hidup kita kelak nanti. Agar kita tetap pada pendirian, tak mudah goyah dan tak kan pernah pantang menyerah. Beban hidup pasti akan selalu datang. Bagaikan sedang panjat pinang, parade merupakan sikap awalan kita dalam menempuh hidup. Rintangan disini diibaratkan sebuah oli yang biasa dilumurkan pada bambu. Kalau kita tidak pantang menyerah, kita pasti bisa menuju puncak kejayaan hidup. Percayalah.

Tema 1 Juli 2011

Selamat malam #smandacivil :D

Masih ingat bagaimana berbaris rapi dengan sikap sempurna dan hanya diberi hak untuk bernapas saja? Ya, "PARADE" akan menjadi tema kita untuk malam ini. Punya cerita kecil tentang bagaimana rasa, apa dan bagaimana itu parade yang siap dibagikan untuk #smandacivil?

Ayo, jangan takut untuk menulis! :)

Lengan Kiri

Oleh: Sandi Hakim (S.H)

Aku rela dibakar
Agar tak mudah habis
Aku rela ditusuk
Agar tak mudah lepas
 
Aku selalu menemanimu
Menjadi saksi tingkah lakumu
Menjadi saksi saat kau menerima konsekuensi
Menjadi saksi dibawah terik matahari
 
Tapi kini diriku seperti sampah tak berguna
Yang tak pernah lagi kau sentuh
Kau taruh aku di laci
Bersama teman-teman seperangkat ku yang lain
 
Namun aku bahagia
Ketika ku dengar
Kabar adikmu masuk di sekolah yang sama sepertimu
Dan mempercayaiku untuk mendampinginya
Di lengan kiri…