Oleh: Aulia D. Putri
Kelas: X IPA 2
“Biaann, tungguin dong. Buru-buru banget sih kaya mau apa aja”, rengek
Luna seraya berlari kecil. “Gue ada janji Lun, elo pulang duluan aja
ya”. Akhirnya dengan langkah gontai Luna pun pulang sendiri tanpa Bian.
Dalam hati ia mengutuk orang yang membuatnya terpisah dari Bian.
Malam pun tiba. Seperti malam kemarin, malam ini pun pikirannya tetap
abu-abu. Luna masih tak menemukan inspirasinya dalam mendesain baju.
Padahal, deadline lomba tinggal menghitung hari. Ya, seminggu tak cukup
untuk memikirkan desain baju casual pikirnya. Apalagi beban pikirannya
bertambah karena tugas yang menggunung dan menunggu untuk diselesaikan.
Tiba-tiba handphone Luna bergetar, tertulis nama Bian di layarnya.
“Hai Lunn!! Elo sehat kan?”
“Sehat apanya Bi? Muka gue kucel nih mikirin desain baju. Bantuin dong
Bi, elo kan pemerhati aksesoris berjalan”, ucap Luna sekenanya.
“Asal aja lo, deadline lusa kan? Elo masih belom bikin? Ya ampun Luna, elo pikir kantor pos cuma ngirim punya lo doang?”
“Buruan ke rumah gue, kita tempur malem ini”
“Siap bouss, siap-siap dulu ya”, ucap Bian seraya menutup telepon.
Sambil menunggu Bian, Luna terdiam sambil mencari inspirasi. Ia
berkali-kali memainkan pensilnya di atas kertas. Berkali-kali pula ia
menghapusnya. Hening sesaat, Luna menyerah dan tak tahu harus membuat
desain apa. Bian pun datang memecah keheningan. Ia mencoba membantu Luna
dengan celotehannya, dimulai dari sasaran pengguna baju hingga corak
dan warnanya. Tetapi Luna hanya diam, larut dalam pikirannya. Bian tak
mengerti mengapa Luna yang selalu mempunyai ide cemerlang tiba-tiba
menjadi pendiam bahkan seringkali tak memiliki ide.
Malam berlalu dengan cepat, tepat pukul 2 dini hari pekerjaan Luna
selesai. Inilah karya pertamanya yang dikirim untuk mengikuti loma. Ia
berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Bian karena telah
membantunya. Lomba ini segalanya bagi Luna, karena jika ia memenangkan
lomba ini ia akan dapat beasiswa dan berkesempatan mendiskusikan
karya-karyanya selama ini bersama desainer terkenal. Ia hanya ingin
menunjukan pada Helen, sang aksesoris berjalan, bahwa ia dapat
mewujudkan impiannya.
Dua bulan kemudian, pengumuman pun tiba. Pengumuman dikirim melalui pos,
Bian tak sabar menunggu hasilnya. Ia ingin melihat sahabatnya menjadi
desainer terkenal di usia muda. Ia pun pergi ke rumah Luna dengan raut
wajah senang.
“Gimana Lun hasilnya? Elo juara berapa?”, ucapnya dengan wajah berbinar-binar.
“Gue kalah Bi, gue emang ga bakat. Mungkin Helen bener, desain gue itu monoton. Ga ada bagus-bagusnya”, ujar Luna lesu.
“Elo ngomong apasih Lun, mungkin elo belom menang sekarang. Tapi entar juga elo pasti menang”
“Kalo kalah, ya kalah aja Bi. Awalnya aja udah gini, gimana kedepannya?”
“Ngomong tuh yang bener Lun, ga semuanya bakal berakhir buruk kalo elo mau usaha”, ucap Bian seraya menguatkan Luna.
***
Dengan wajah muram ditatapnya brosur dari Bian. Brosur lomba mendesain
gaun itu sebenarnya berhasil menggerakan hati Luna. Tapi ia enggan
mengikuti lomba tersebut karena takut akan kalah lagi. Tak
henti-hentinya Bian menyemangatinya, tapi ia tetap bingung.
Tiba-tiba ide muncul dibenaknya, ia mencoba mengekspresikan idenya di
atas kertas. Ia tersenyum puas dan diam-diam mengirimkan karyanya tanpa
diketahui Bian. Bian berpikir bahwa Luna sama sekali tak mengubrisnya,
karena itulah ia menyerah dan tak berbicara lagi tentang fashion. Mereka
menyadari bahwa hubungan mereka merenggang. Luna rindu celotehan Bian,
tapi ia menyadari bahwa ia sendirilah yang membuat hubungannya dengan
Bian tak berjalan baik. Ia melupakan hasil lomba mendesain gaun yang ia
ikuti sebulan lalu. Ia sibuk memikirkan kegelisahan hatinya dan
bagaimana cara agar ia dan Bian dapat seperti dulu lagi.
Kiriman pos untuk Luna pun datang. Anehnya, kali ini berupa barang. Ia
bingung dan merasa tak membeli apapun melalui online shop. Ia tenganga
saat mengetahui bahwa isinya adalah gaun hasil buatannya sendiri. Ia
menang, dengan spontan ia menelepon Bian.
“Halo Bian?”, ucapnya terbata-bata.
“Iya Lun, ada apa?”, jawabnya dingin.
“Gue menang lomba!! Ga juara 1 sih, tapi gue seneng banget. Buruan ke rumah gue, elo harus liat gaun buatan gue”
“Sumpah Lun? Oke gue otw, elo emang ikut lomba apaan?”
“Buruan ke rumah gue, entar gue ceritain”
Selama perjalanan, Bian tak berhenti tersenyum. Dalam hatinya terpancar
aura bahagia. Ketika di rumah Luna, mereka berpelukan melepas rindu satu
sama lain. Bian tersenyum puas meliat hasil karya sahabatnya tersebut.
“Gue bilang juga apa, elo tuh berbakat Lun”, ujarnya sambil meremas pundak Luna.
“Elo bisa aja Bi, ini juga gara-gara elo. Awalnya gue coba-coba, gue ga
kepikiran bakal menang. Makasih ya, elo emang loveable banget deh Bi”
“Kalo elo serius pasti deh Lun. Coba progress elo dari dulu kaya gini, elo pasti bakal lebih dari Helen”
“Gue udah ga peduli sama Helen. Gara-gara dia, gue jadi ambisius banget.
Pas kalah gue jadi ga percaya diri lagi Bi, tapi elo nyemangatin gue.
Makanya gue nyoba ikutan lomba ini. Makasih banget loh ya”
“Iya, kan udah gue bilang. Kalo elo usaha, pasti bakalan bisa. Ga semua
yang awalnya buruk bakal berakhir buruk juga Lun. Dalam beberapa hal,
start emang nentuin kedepannnya. Tapi buat masalah lo, start itu ga
penting. Yang penting progress dan cara elo bangkit kalo elo terpuruk”
“Iya Mama Bian, I love you!”, pekik Luna sambil memeluk Bian erat.