Sabtu, 22 Maret 2014

Tidak ada Akhir

Oleh : Admin Penulismanda



“Awal” …
Aku Kembali membuka buku yang diberikan oleh ayahku, sekarang aku berhasrat untuk menulis lagi pada buku ini, aku sedikit bingung untuk menuliskan apa yang aku ingin tulis aku hanya berpikir untuk memulai sesuatu pasti ada awalnya, bukan hanya sebuah cerita tapi segala sesuatu pasti mempunyai awal, ngomong-ngomong soal cerita aku sangat suka dengan sebuah cerita, cerita apapun baik itu cerita dongeng, fiksi, film apapun yang mempunyai jalan cerita. Oke aku menemukan sebuah ide untuk tulisanku kali ini.

Apakah Kalian Pernah berpikir lebih lanjut tentang sebuah cerita? Misalnya ketika sebuah novel yang sudah selesai kalian baca dan novel tersebut berakhir dengan happy ending dengan tokoh utamanya, apakah kalian pernah berpikir lagi bagaimana kehidupan tokoh tersebut setelah cerita itu tamat? , apakah ketika seorang Harry Potter berhasil membunuh Voldemort yang merupakan musuh bebuyutannya maka setelah itu Harry Potter akan terus bahagia? Apakah ketika Seorang Holmes berhasil memecahkan kasus sulit lalu setelah itu dia merasa puas dan bahagia terus? Apakah ketika seorang Snow White yang telah menikah dengan seorang Pangeran dan berhasil membunuh ibunya yang jahat lalu dia hidup bahagia setelah itu? Apakah kalian pernah memikirkan itu? Kalau saya sendiri sering melakukannya, mungkin hal ini agak sedikit aneh tapi disinilah hal yang unik… ketika sebuah cerita fiksi telah selesai ditulis oleh pengarang aslinya dengan hasilnya yang Happy Ending/Sad Ending kita bisa membayangkan lebih lanjut kehidupan tokoh-tokoh di dunia fiksi setelah cerita itu? Lalu kapan berakhir? Itu tidak Akan Berakhir sampai kalian semua berhenti berimajinasi…

Imajinasi itu adalah Awal dari segala sesuatu , mungkin kalian tidak asing dengan kata-kata : “Hidup Berawal dari Mimpi”  … dan saya setuju dengan itu … selama kita bermimpi semua hal dapat terjadi dan disaat itulah kita bisa melebarkan sayap kita dan terbang setinggi-setingginya , itu adalah Awal dari segalanya dan bukan Akhir dari sebuah cerita… Tidak Ada sebuah Akhir, bahkan kematian bukanlah akhir, bahkan Kiamatpun bukanlah akhir, bukannya dari situ kita akan membuka lembaran baru dan melakukan sesuatu yang baru … jadi menurut saya tidak ada sebuah akhir yang ada adalah Awal dan Selanjutnya…

Bisakah



Oleh   :  Amalia Ramadhani

Kelas  : X IPA 7


 
Katanya, kalau awal yang baik itu bagus. Bisa memotivasi. Tapi, menurutku tidak juga kok.
***
Setiap aku melihat ke arah beberapa piala itu, aku menjadi semakin merasa kesal dan benci terhadap semua hal. Aku menjadi sangat pemarah ketika hanya melihat piala itu. Piala yang dulu aku banggakan. Aku pamerkan kepada setiap teman-teman di sekolah. Karena piala itulah aku menjadi siswi yang terkenal satu sekolah. Bahkan beberapa siswa dan siswi dari sekolah lain pun tahu tentang diriku.
***
Aku sangat cinta kepada dunia seni. Secara spesifik, aku sangat suka dengan melukis. Entah apa yang membuat aku sangat menggemari kegiatan ini. Melukis itu sama saja dengan bercerita. Tetapi dengan sebuah gambar. Bukan hanya gambar asal-asalan. Tetapi, dengan cara menghayati objek itu sendiri.
Aku pernah mengikuti perlombaan melukis se-sekolah. Itu adalah pertama kali aku mengikuti lomba melukis. Aku dibujuk Yuri untuk mengikuti lomba itu. Karenanya, maka aku pun mengikuti kegiatan itu. Setelah mengikuti, ternyata aku dapat juara ke-1. Waaah aku sangat bahagia dan bangga. Begitu juga dengan Yuri, dia senang aku dapat juara. Yuri dapat juara ke-3. Memang lukinsannya bagus. Piala pertamaku aku simpan di yang paling ujung lemari.
Juri-juri senang dengan lukisanku. Beberapa bulan kemudian ada lomba di tingkat kota dengan perwakilan sekolah. Aku diajak guru-guru untuk mengikuti lomba tersebut. Sebenarnya, bukan hanya aku saja. Tera dan Yuri pun sebagai juara 2 dan 3 diikutkan pada lomba itu.
Lombanya sangat meriah. Para peserta terlihat sangat antusias terhadap perlombaan ini. Aku kira banyak sekali yang lebih dari kehebatan aku. Tapi, memang benar. Banyak dari sekolah lain yang melukis lebih indah dariku.
Tanpa disangka-sangka, aku dapat juara satu. Aku sangat bangga. Bangga sekali. Semua guru dan teman-temanku juga senang karena perwakilan sekolahnya mendapatkan juara pertama.
***
Karena pernah mengikuti lomba melukis se-kota, aku menjadi pede untuk mengikuti lomba yang lainnya. Walaupun, lomba-lomba itu Yuri yang mengajak. Aku mengikuti lomba melukis dengan tema yang bermacam-macam. Dan hasilnya? Aku selalu mendapat juara kalau enggak 1, 2, atau 3. Sedangkan Yuri selalu dibawahku.
Sejak pertama sampai yang terakhir kali mengikuti lomba aku selalu menang, aku menjadi anak yang sombong, angkuh, dan suka mengejek teman-teman. Mereka menjadi tidak suka padaku. Bahkan aku pernah mendengar Tya anak kelas atas mendo’akan aku agar aku tidak memenangkan lomba yang aku ikuti. Setelah mendengar itu, aku langsung menghampiri Tya dan menghujat Tya dengan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan. Tya langsung meminta maaf dan air matanya bercucuran sangat deras.
Parahnya, aku mengejek sahabatku sendiri. Yuri. Aku bilang
‘lukisanmu sangat tidak berbudaya, tidak punya sisi seni, tidak ada bagus-bagusnya sedikit pun, yang ada hanyalah sampah!’
Yuri membalasnya dengan senyuman. Jelas-jelas aku sudah kejam sekali kepada Yuri, dialah yang mengajakku untuk mengikuti setiap lomba. Dan kalau Yuri tidak mengajakku untuk mengikuti lomba itu, aku tidak akan pernah mendapatkan juara apapun. Aku bukan apa-apa tanpa dia.
Aku juga bilang kepda Yuri, kalau dia itu tidak pantas untuk mengikuti lomba-lomba yang seperti aku ikuti. Lomba-lomba itu terlalu keren untuknya
Tapi apa yang aku lakukan pada Yuri? Mengejek lukisannya! Aku ini memang bukan teman. Dan aku sekarang memang tidak punya teman satu pun. Mereka menghindar. Mereka menjauh. Aku sendirian. Sepi. Tidak ada teman. Yang ada hanyalah lukisanku. Tidak hanya itu. Guru-guru pun menjadi sinis terhadapku.
***
Suatu ketika aku kalah diperlombaan tingkat nasional. Yuri menang walaupun jura ke-2, tetap saja yang namanya se-nasional pasti bergengsi. Yuri menghampiriku dan menghiburku. Aku sangat malu padanya. Padahal, aku sudah mengejeknya.
Kalau aku bisa kembali ke awal, aku ingin tidak juara saat perlombaan di sekolah. Aku ingin awal yang buruk bukan yang baik. Awal yang baik membuatku menjadi sombong. Aku ingin awal yang buruk supaya aku bisa belajar dari hal yang buruk dan berubah menjadi lebih baik.

Dimulai Dari Akhir

Oleh: Adinda P. Rahayu
Kelas: XI IPA 7



                Awal itu permulaan. Awal itu bagaimana suatu cerita dimulai. Bagaimana penulis mengenalkan latar belakang kejadian sebelum pembaca kenalan dengan pokok masalah. Iya, awal itu bagaimana cerita kita dimulai. Awal itu selalu bagian di mana aku bercerita tentang bagaimana semua kebetulan-kebetulan itu mempertemukan kita. Bagian di mana pertemuan kita menjadi awal ceritaku. Awal itu sesuatu yang baru.
                Tapi, awal? Haruskah awal ditempatkan di depan? Haruskah awal selalu ditaruh sebagai bagian pertama dari sebuah cerita? Maksudku, ceritaku tentang kita saja aku mulai sejak kamu masih bersamanya. Saat kamu masih sibuk menulis kisah kalian yang manis, romantis, indah, semua yang aku anggap sempurna. Saat kamu masih sayang padanya… ah, mengapa aku membahas ini?
                Ceritaku tentang kita tidak diawali dengan awal kisah kita. Bahkan ketika kamu sudah mengakhiri kisahmu, menyudahi semua kenangan-kenangan indah bersamanya, kamu memulai kisah baru. Yang pasti bukan denganku. Justru kisah kita baru dimulai tepat setelah aku mengakhiri kisahku sebelum kamu. Akhir dari kisahku adalah awal dari kisah kita.
                Kamu pernah nonton serial televisi “How I Met Your Mother”? Serial itu tentang Ted Mosby, seorang arsitek, yang menceritakan bagaimana dia bertemu dengan istrinya kepada anak-anaknya. Ted sudah bertemu dengan puluhan wanita, memacari banyak perempuan, tapi tak satupun adalah jodohnya. Sementara teman-teman gengnya, Lily Aldrin, Marshall Eriksen, Robin Scherbatsky, Barney Stinson, yang kebetulan (dan anehnya) saling berpasangan, Ted masih sendiri. Setelah sekian lama mencari-cari si “tulang rusuk” ini, dia ingin menyudahinya saja. Tapi, justru ketika Ted mengakhiri pencariannya itu, dia bertemu dengan jodohnya. Lihat? Akhir dari pencariannya adalah awal dari pertemuan mereka, dan awal dari kisah mereka.
                Mungkin suatu hari aku akan menulis jurnal dengan judul “How I Met Your Father”. Oh, ya, kamu pasti akan kutulis di buku itu. Begitupun mereka yang aku temui sebelum kamu. Dan mereka yang kutemui setelah kamu. Mungkin aku akan bertemu kamu lagi. Mungkin juga tidak, tapi siapa tahu? Yang pasti akan kukatakan pada anakku kelak sebelum mereka membaca jurnalku itu adalah bahwa awal jurnalku hanya akan menjadi awal jurnalku. Tapi, sisi baiknya adalah ketika jurnalku berakhir, akhir itulah yang akan menjadi awal bagian cerita lainnya.

"AWAL", Satu Kata Penuh Makna

Oleh    :   Ditya Puteri
Kelas  :  X IPA 9



Kata "Awal" sudah tidak asing di telinga kita. And yes, sekali lagi, satu kata yang sederhana ini penuh dengan makna. I mean, penuh makna disini bukan berarti ambigu. Tapi kata yang berarti dalam hidup kita, kata yang penting on every pages of our life, kata yang bermakna bagi kita. Hidup kita dimulai dengan "Awal". Lagi-lagi si "awal" ini yang muncul. Why this word always show up in front of our eyes?
The answer is, setiap langkah yang kita ambil pasti adalah sebuah "Awal". Setiap pilihan yang kita ambil pasti adalah sebuah "Awal". Awal inilah, yang menentukan kehidupan kita, dan Awal inilah yang menentukan 'Akhir' juga.
I mean, contohnya saat kita baru masuk SMA, itu berarti awal yang baru. Atau bahkan hal yang mungkin gak pernah terlintas di benak kita, saat ruh kita pertama kali dihembuskan kepada janin ibu kita, "Awal" hidup kita dimulai.So basically, this word is the starter; kata pertama dalam setiap chapter hidup kita.
Awal yang baik, selalu diikuti dengan Akhir yang baik, and well begitupun sebaliknya, Awal yang buruk akan diikuti dengan Akhir yang buruk. Terus gimana kalau misalkan kita memilih "Awal" yang buruk, lalu akhirnya kita sadar bahwa itu salah dan akirnya kita memilih untk berubah? Like I said before, setiap pilihan yang kita ambil adalah sebuah "Awal". Mungkin awal yang kita pilih buruk, dan akhirnya adalah saat kita sadar bahwa "Awal" yang kita pilih itu salah, that's the ending, regrets and sorry. Lalu akhirnya, kita memilih "Awal" yang baru lagi, yaitu untuk berubah menjadi lebih baik.
Don't you think it's true? "Awal" mungkin kata yang sepele, but the meaning is the most important one, kaalu kita mau membuka mata kita, akan hal kecil sekalipun.

So, why this word always show up in front of our eyes?
Karena "Awal" adalah kata pertama yang kita torehkan dalam hidup kita.

Karena "Awal", adalah satu kata yang penuh makna.

Desain Coba-coba

Oleh: Aulia D. Putri
Kelas: X IPA 2





“Biaann, tungguin dong. Buru-buru banget sih kaya mau apa aja”, rengek Luna seraya berlari kecil. “Gue ada janji Lun, elo pulang duluan aja ya”. Akhirnya dengan langkah gontai Luna pun pulang sendiri tanpa Bian. Dalam hati ia mengutuk orang yang membuatnya terpisah dari Bian.

Malam pun tiba. Seperti malam kemarin, malam ini pun pikirannya tetap abu-abu. Luna masih tak menemukan inspirasinya dalam mendesain baju. Padahal, deadline lomba tinggal menghitung hari. Ya, seminggu tak cukup untuk memikirkan desain baju casual pikirnya. Apalagi beban pikirannya bertambah karena tugas yang menggunung dan menunggu untuk diselesaikan. Tiba-tiba handphone Luna bergetar, tertulis nama Bian di layarnya.
“Hai Lunn!! Elo sehat kan?”
“Sehat apanya Bi? Muka gue kucel nih mikirin desain baju. Bantuin dong Bi, elo kan pemerhati aksesoris berjalan”, ucap Luna sekenanya.
“Asal aja lo, deadline lusa kan? Elo masih belom bikin? Ya ampun Luna, elo pikir kantor pos cuma ngirim punya lo doang?”
“Buruan ke rumah gue, kita tempur malem ini”
“Siap bouss, siap-siap dulu ya”, ucap Bian seraya menutup telepon.

Sambil menunggu Bian, Luna terdiam sambil mencari inspirasi. Ia berkali-kali memainkan pensilnya di atas kertas. Berkali-kali pula ia menghapusnya. Hening sesaat, Luna menyerah dan tak tahu harus membuat desain apa. Bian pun datang memecah keheningan. Ia mencoba membantu Luna dengan celotehannya, dimulai dari sasaran pengguna baju hingga corak dan warnanya. Tetapi Luna hanya diam, larut dalam pikirannya. Bian tak mengerti mengapa Luna yang selalu mempunyai ide cemerlang tiba-tiba menjadi pendiam bahkan seringkali tak memiliki ide.

Malam berlalu dengan cepat, tepat pukul 2 dini hari pekerjaan Luna selesai. Inilah karya pertamanya yang dikirim untuk mengikuti loma. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Bian karena telah membantunya. Lomba ini segalanya bagi Luna, karena jika ia memenangkan lomba ini ia akan dapat beasiswa dan berkesempatan mendiskusikan karya-karyanya selama ini bersama desainer terkenal. Ia hanya ingin menunjukan pada Helen, sang aksesoris berjalan, bahwa ia dapat mewujudkan impiannya.

Dua bulan kemudian, pengumuman pun tiba. Pengumuman dikirim melalui pos, Bian tak sabar menunggu hasilnya. Ia ingin melihat sahabatnya menjadi desainer terkenal di usia muda. Ia pun pergi ke rumah Luna dengan raut wajah senang.
“Gimana Lun hasilnya? Elo juara berapa?”, ucapnya dengan wajah berbinar-binar.
“Gue kalah Bi, gue emang ga bakat. Mungkin Helen bener, desain gue itu monoton. Ga ada bagus-bagusnya”, ujar Luna lesu.
“Elo ngomong apasih Lun, mungkin elo belom menang sekarang. Tapi entar juga elo pasti menang”
“Kalo kalah, ya kalah aja Bi. Awalnya aja udah gini, gimana kedepannya?”
“Ngomong tuh yang bener Lun, ga semuanya bakal berakhir buruk kalo elo mau usaha”, ucap Bian seraya menguatkan Luna.

                             ***

Dengan wajah muram ditatapnya brosur dari Bian. Brosur lomba mendesain gaun itu sebenarnya berhasil menggerakan hati Luna. Tapi ia enggan mengikuti lomba tersebut karena takut akan kalah lagi. Tak henti-hentinya Bian menyemangatinya, tapi ia tetap bingung.

Tiba-tiba ide muncul dibenaknya, ia mencoba mengekspresikan idenya di atas kertas. Ia tersenyum puas dan diam-diam mengirimkan karyanya tanpa diketahui Bian. Bian berpikir bahwa Luna sama sekali tak mengubrisnya, karena itulah ia menyerah dan tak berbicara lagi tentang fashion. Mereka menyadari bahwa hubungan mereka merenggang. Luna rindu celotehan Bian, tapi ia menyadari bahwa ia sendirilah yang membuat hubungannya dengan Bian tak berjalan baik. Ia melupakan hasil lomba mendesain gaun yang ia ikuti sebulan lalu. Ia sibuk memikirkan kegelisahan hatinya dan bagaimana cara agar ia dan Bian dapat seperti dulu lagi.

Kiriman pos untuk Luna pun datang. Anehnya, kali ini berupa barang. Ia bingung dan merasa tak membeli apapun melalui online shop. Ia tenganga saat mengetahui bahwa isinya adalah gaun hasil buatannya sendiri. Ia menang, dengan spontan ia menelepon Bian.
“Halo Bian?”, ucapnya terbata-bata.
“Iya Lun, ada apa?”, jawabnya dingin.
“Gue menang lomba!! Ga juara 1 sih, tapi gue seneng banget. Buruan ke rumah gue, elo harus liat gaun buatan gue”
“Sumpah Lun? Oke gue otw, elo emang ikut lomba apaan?”
“Buruan ke rumah gue, entar gue ceritain”
Selama perjalanan, Bian tak berhenti tersenyum. Dalam hatinya terpancar aura bahagia. Ketika di rumah Luna, mereka berpelukan melepas rindu satu sama lain. Bian tersenyum puas meliat hasil karya sahabatnya tersebut.
“Gue bilang juga apa, elo tuh berbakat Lun”, ujarnya sambil meremas pundak Luna.
“Elo bisa aja Bi, ini juga gara-gara elo. Awalnya gue coba-coba, gue ga kepikiran bakal menang. Makasih ya, elo emang loveable banget deh Bi”
“Kalo elo serius pasti deh Lun. Coba progress elo dari dulu kaya gini, elo pasti bakal lebih dari Helen”
“Gue udah ga peduli sama Helen. Gara-gara dia, gue jadi ambisius banget. Pas kalah gue jadi ga percaya diri lagi Bi, tapi elo nyemangatin gue. Makanya gue nyoba ikutan lomba ini. Makasih banget loh ya”
“Iya, kan udah gue bilang. Kalo elo usaha, pasti bakalan bisa. Ga semua yang awalnya buruk bakal berakhir buruk juga Lun. Dalam beberapa hal, start emang nentuin kedepannnya. Tapi buat masalah lo, start itu ga penting. Yang penting progress dan cara elo bangkit kalo elo terpuruk”
“Iya Mama Bian, I love you!”, pekik Luna sambil memeluk Bian erat.

Awal

Oleh    :  Retno Putri A
Kelas  :  X MIIA 3



Kita dipertemukan di atas tanah ini

Tanah ini..

Kata orang, tanah ini penuh warna

Kata orang, tanah ini penuh dengan suka cita masa muda

Kata orang, tanah ini tanah yang penuh kebahagiaan

Tapi..

Orang bilang tanah ini juga penuh tipu muslihat

Orang bilang tanah ini bisa terisi dengan warna kelabu

Orang bilang tanah ini bisa menjerumuskan kita kepada dunia hitam


Kita dipertemukan di atas tempat ini

Tempat ini..

Tempat kita mencari ilmu

Tempat kita berbagi suka duka

Tempat kita membagi kisah

Tempat kita menggoreskan cerita-cerita

Tempat yang akan menjadi cerita indah di masa datang

Tempat yang akan membuat kita tersenyum saat memandangnya

Tempat ini.. Awal perjalanan kita untuk terus tumbuh dewasa

Tempat ini.. Pijakan awal kita untuk terus berlari menuju kesuksesan

Awal dari semuanya

Oleh    : Shelly Ila Amalia
Kelas    : X IPA 4

Keberhasilan? Kegagalan?
Berasal dari suatu awal
Mempengaruhi semuanya
Entah untuk pertengahan
Entah untuk hasil di akhir
Bismillah adalah kata yang tepat
Tepat untuk mencapai keberhasilan
Dimana menjadi tolak ukur untuk semangat keberhasilan

Hai, Awal.

Oleh: Ainu Athifah R.A.I
XI IPA 2 / 2015 (?)



2012.
Mari kita berbicara tentang awal sekarang.
.
.
.
.
.
Mungkin, sesuatu yang buruk di awal, akan selalu buruk setelahnya. Itu yang sebelumnya aku percayai. Berbagai kejadian menyuruhku untuk beranggapan begitu. Contohnya? Ambil saja yang gampang. Jika kau bertemu seseorang untuk pertama kali dan punya pengalaman buruk atau firasat buruk terhadapnya, kau akan terus beranggapan buruk tentang orang itu. Ya, awal menentukan segalanya—begitu kataku, dulu.
Tak mudah untuk mengubah apa yang sudah kita alami di awal. Aku sendiri mengalami begitu. Kau tahu, aku punya perasaan tidak enak saat pertama kali kulihat daftar nama kelas itu. Aku selalu beranggapan buruk terhadap kelasku—hingga beberapa bulan, aku masih merindukan kelasku yang lama. Sulit untuk diubah—pikirku, dulu. Aku merasa kesulitan untuk menerima kelasku, walau setengah diriku sudah beradaptasi dengan kelas itu. Sungguh menyiksa kalau kau tetap mempertahankan pikiran buruk yang dimunculkan di awal, percayalah.

Tapi, akhirnya aku senang-senang saja dengan kelas itu. Kau tahu mengapa? Lebih baik kau mengubah dulu pikiranmu itu. Bukan awal yang menentukan segalanya, tapi dirimulah yang menentukan. Tak apa jika di awal semua tidak sesuai dengan perkiraanmu, tapi ayolah, di prosesnya kau harus mengubah cara pandangmu dan terima saja keadaannya. Kau tahu, jika dirimu yang mengubahnya, semuanya akan berakhir sesuai dengan perkiraanmu. Aku sudah mengalaminya. Aku mampu mengatasi awal yang buruk sekarang, masa kau tidak?
Ayolah, mari kita berkata pada awal; “Hai awal, tak apa kau buruk dan tidak sesuai perkiraan tapi lihatlah nanti, aku akan mengubahmu dan bertemu dengan akhir yang sesuai.”
 
p.s catatan di hari sebelum masuk sekolah. Apa kabar 1 tahun yang lalu? I’m kinda missing you guys!

Awal Untuk Maju

Oleh    : Fasya Hadiyan Aprilingga
Kelas   : X IPA 4



“Semua itu berawal dari kerja keras untuk meraih kesuksesan. Dan janganlah takut untuk mengawali  itu.”
-Fasya

            “Sssssttt ahhh!!! Lo berisik banget sumpah, Nat.” Reno menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan jengkel. Namun yang ditatap malah mengedikkan bahunya dan kembali memainkan gitar akustik yang selalu ia bawa ke sekolah.

“Terserah gue napa, Ren.” Balas Nathan datar sambil memainkan gitarnya. Entah apa yang merasuki tubuh Reno, ia benar-benar jengkel saat mendengar petikan gitar yang Nathan mainkan. “Lo ganggu gue ngerjain tugas, bisa-bisa kalo gak selesai gue kena hukum. Kenapa sih lo gak ikut lomba apa kek gitu? Biar lo bisa nunjukkin keahlian lo main gitar kesemua orang gak ke gue sama temen satu kelas aja.”

Nathan menatap teman sebangkunya geli lalu meletakkan gitarnya di samping kursi yang didudukinya. “Iya deh, gue berhenti. Lo kasian banget sih No belum ngerjain tugas. Emang semalem lo ngapain aja? Dan untuk usulan lo itu gue belum bisa terima, gue belum siap mental, bro.” Ungkap Nathan yang sekarang sedang menatap Reno dengan miris. Reno hanya diam tak menjawab pertanyaan teman sebangkunya itu dan kembali serius menyalin jawaban di bukunya.

“Heh, Nat!!” Tiba-tiba seorang gadis mengagetkan mereka berdua membuat Reno mencoret tugas yang sedang disalinnya. “Eh sumpah ya, Ta lo bikin gue nyoret tulisan gue nih. Ah lo parah gue udah nyalin banyak-banyak nih.” Ucap Reno geram pada gadis manis dihadapannya.  “Sori-sori ya, No. Gue bener-bener gak sengaja. Sebenernya gue ada info buat Nathan.” Lirihnya dengan suara lembut pada kedua lelaki yang sedang menginjak dewasa dihadapannya.
Nathan menatap Talia dihadapannya. “Info apaan, geulis?” Talia mencibir panggilan untuk dirinya yang diucapkan Nathan tadi, lalu dirinya mengambil kertas selembaran yang didapatnya di depan Mading pagi tadi. “Nih ada kontes musik loh, Nat. Lo kan bisa main gitar, suara lo bagus juga. Mending lo ikutan ini aja nih, lumayang juga hadiahnya. Itung-itung nambah pengalaman lo.” Ujar Talia panjang lebar kepada Nathan. Talia pun memberikan brosus yang diambilnya pagi tadi kepada Nathan.
Nathan pun mengambil brosus yang diberikan Talia lalu membaca isi brosur itu. “Hemmm.. Lumayan juga, tapi gak tau deh Ta gue masih bingung.” Ucapnya lalu memberikan brosur yang dipegangnya pada Talia.

Talia menatap Nathan jengkel. “Nat, lo tuh ya, gue nih sama Reno sering banget ngasih info-info tentang kontes ini itu, tapi tetep aja lo nolak, nolak, nolak lagi. Lama-lama kita berdua cape loh ditolak terus sama lo. Kita nih mau bantu lo supaya lo bisa nunjukkin kemampuan lo yang luar bisa itu.” Ucap Talia dengan wajahnya yang lesu. Nathan hanya bergeming tak menjawabnya, ia memikirkan sesuatu yang selama ini ia khawatirkan apabila ia mengikuti kontes bermusik itu. Bisa saja saat dipanggung nanti, tiba-tiba perutnya sakit karena gugup dan menyebabkan ia salah memetik senar gitarnya lalu senar itu putus. Sangat memalukan, bukan? Ia tahu kekhawatiran itu memang pasti dialami oleh setiap musisi saat pertama kalinya mereka pentas di atas panggung dan dilihat banyak sekali orang. Namun entah kenapa ia benar-benar tidak bisa menghilangkan kegugupan itu dari dalam dirinya karena ia belum pernah sama sekali memperlihatkan keahliannya itu pada orang lain selain orang tuanya, kakaknya, dan teman sekelasnya ini.

Reno menepuk bahu teman sebangkunya itu sambil tersenyum. “Ayolah, Nat. Lo tuh gak boleh sia-siain kemampuan lo itu. Lo bilang ke gue lo mau sukses bermusik, tapi dari kesuksesaan itu semua ada awalnya loh, Nat.”

Talia mengangguk mendengar ucapan Reno, lalu dirinya menambahkan. “Bener Nat kata Reno. Semua itu ada awalnya, kalo gak ada awalnya berarti juga gak ada akhirnya dan berarti kalo lo gak mengawali karir bermusik lo ini, karir lo yang lo udah impi-impikan gak bakal ada akhirnya. Lo gak bakal sukses diakhir nanti. Lo tau kan Alexander GrahamBell bisa nemuin telepon tuh karena awalnya dia mau berusaha, Rakyat Indonesia bisa buat Negeri ini merdeka karena mereka awalanya berjuang untuk tetap bersatu melawan Belanda sama Jepang agar negara ini merdeka. Nah lo? Mau sukses tapi gak mau berusaha dari awal? Dari titik dimana lo sama sekali masih bernilai nol, dimana lo masih belum punya pengalaman banyak dan gak tau apa-apa kaya bayi yang masih suci. Kalo lo gak mau mengawali kariri lo itu, bye-bye deh masa depan lo yang cerah. Dan ya Nat, gak ada ruginya lo ikut tuh kontes, malahan lo nanti dapet pengalaman baru, kemampuan bermusik lo bisa nambah, lo jadi gak bernilai nol lagi malah lo bisa nilai 50. Dan ya kalo lo udah nyobain manggung di depan orang-orang banyak, pastinya ada perasaan dalam diri lo yang ngebuat lo nambah percaya diri, gak grogi lagi di depan banyak orang, dan ada perasaan dimana lo malah pengen tampil lagi nunjukkin kemampuan lo itu ke banyak orang. Itu semua bikin lo tambah maju kan, Nat?”

Nathan hanya merenung mendengar penjelasan panjang lebar dari Talia. Hatinya benar-benar terenyuh saat mendengar nasihat dari Talia. Memang semua kesuksesaan itu pasti ada awalnya, dan gak salah juga kan mencoba hal baru, hal yang lebih menantang. Dan kegiatan itu pun sama sekali tidak ada ruginya. Malahan ia bisa belajar dari pengalaman itu. Yang pasti kegiatan itu sangat positif bagi dirinya. Ia benar-benar harus menuruti nasihat teman-temannya ini, memang orang tuanya pun sering sekali menyuruhnya untuk mengikuti suatu kontes tapi entah kenapa baru kali ini hatinya tergerak untuk mengikutinya. Dan setelah dipikir-pikir dengan matang, memang tak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali. Ia tersenyum memandang teman-temannya ini. “Gua kayanya bakal ikut deh itu kontes.”

Ucapan itu sontak membuat Reno dan Talia menjerti kesenangan. Keduanya pun sempat tos untuk merayakan keberhasilan mereke membujuk Nathan. Lalu keduanya menatap Nathan bahagia. “Nat, lo emang the best lah. Gue sama Talia bakal nonton kontes itu.”

“Ya, Nat. Kita berdua, bahkan nih ya satu kelas bakal nonton aksi lo yang keren.” Ucap Talia begitu gembira.

Nathan tertawa melihat aksi kedua temannya itu. Ia benar-benar yakin, sangat yakin akan mengikuti kontes ini. “Ya ya, gue bakal tunggu kedatangan kalian nanti. Dan menurut gue ikut kontes ini adalah awal dari kesuksesaan gue nanti. Dan menurut gue memang semua itu harus ada awalnya supaya ada akhirnya. Tentu akhirnya yang bagus, yaitu sukses. Semua orang pengen sukses tapi kita harus mengawali kesuksesaan itu dengan bekerja keras, tentu aja. Thanks a lot my friends. Kalian the best banget deh bisa ngebuat hati gue luluh gini.” Ia pun memeluk kedua temannya dan setelah itu menghambur pergi keluar dari kelas meninggalkan kedua temannya.