Selasa, 05 Juli 2011

Si Bibir Merah

Oleh: Aulia

Anak kecil itu terus menggambar. Entah gambar apa yang ditengah diimajinasikannya. Guratan besar tak tentu, garis-garis tak saling berhubungan, layaknya bola kusut. Aku yang tengah mengobrol meliriknya sebentar. "Masih anteng aja ya Jeng Sinta anaknya? Enggak kayak anak saya, gak mau diam sekali," ucap seorang Ibu bersanggul tinggi dengan dandanan menor mencolok sambil memiring-miringkan bibirnya yang berwarna merah menyala.

"Iya, Bu Dian. Anjar memang pendiam anaknya. Sampai-sampai saya sendiri juga suka takut. Kok anak ini diam saja,"

"Enak kali, Bu, anak kayak gitu. Enggak pusing. Gampang diatur!"

Aku mengangguk, berusah mengalihkan perhatianku kembali pada sesosok wanita didepanku yang tengah mengoceh seru tentang perjalanan liburannya ke Eropa. Aku menghela napas. Entah kenapa hatiku terasa gundah. Waktu terus bergulir dan omongan Ibu itu masih belum berhenti. Mulutnya seperti mesin pemotong rumput yang terus memotong waktu tanpa ia sadari. Aku sendiri tidak mengerti inti dari kedatangan Ibu Dian datang kerumahku. Nyonya kolongmerat itu bukan seseorang yang suka beramah tamah dengan tetangganya, kecuali memang dia benar-benar ada keperluan mendesak. Sekali lagi mataku mengerling Anjar yang masih saja menunduk, diam selama berjam-jam disebelahku sambil terus menggambar. Tangannya sudah kotor dengan warna krayon yang membuyar diberbagai sisi. Mulutku membentuk senyuman kecil, bisa saja Anjar terlihat seperti memakannya jika aku tidak memperhatikannya dengan jelas.

"Nah, Jeng... sepertinya ada satu cerita lagi yang terlewat ya," Jari-jarinya berbalut kuteks tampak memantulkan sinar cahaya lampu yang berpendar diruangan itu. Bibirnya membentuk seringai kecil yang entah mengingatkanku dengan nenek sihir jahat yang ada dicerita dongeng. Tapi aku berusaha untuk tetap mendengarkan.

"Ya? Silakan saja bercerita, Bu,"

Mulutnya baru saja terbuka saat pintu diketuk. Aku menoleh. "Ah, sudah pulang?"

Itu suamiku. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya masih tampak saat dia memandangku. Namun entah kenapa matanya dengan cepat beralih pada sosok yang ada disebelahku. Ekspresinya membeku sesaat dan terlihat... takut? Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu lalu buru-buru mengampirinya. "Ibu Dian sudah kenal suami saya? Dia sekarang bekerja di tempat yang sama dengan Ibu dulu kalau saya tidak salah,"

Lagi-lagi senyum itu. Senyum memuakkan itu. Suamiku bergerak tak nyaman disampingku. Aku membiarkan genggamanku terlepas lalu dia pergi menuju ruangan lain. Senyum di bibir merahnya merekah semakin lebar lalu dia hanya berbisik kecil, "Suamimu... menyenangkan."

Alisku bertaut bingung lalu yang aku tiba-tiba saja Anjar mengerang. Lalu aku baru melihat gambarnya dengan jelas saat ini. Seperti sumur tak berujung yang gelap, yang sisi-sisinya tampak membara. Aku bergidik ngeri. Ada apa?

***

"Meninggal?"

Mataku yang sembab melebar tak percaya. Seseorang menepuk pundakku lalu mengangguk kecil. Aku tak percaya. Ada apa dengan ini semua?

Sambil memandang badan kaku yang telah diselimuti kain putih yang bersih, aku terus berpikir. Mereka meninggal disaat yang sama. Di tempat yang berbeda. Dengan cara yang sama. Dan hanya berselang beberapa jam. Keracunan makanan, itulah yang dikatakan Polisi. Makanan yang terakhir dimakan suamiku adalah makanan buatanku, apa aku begitu bodoh sampai bisa memasukkan bahan mematikan untuk suamiku sendiri? Ibu Dian pun meninggal dengan alasan yang sama saat dia baru saja sarapan dirumahnya. Pembantunya baru saja digiring Polisi dari rumah mewah itu untuk penyelidikan lebih lanjut. Apa nasibku akan sama? Menjadi tersangka pembunuhan untuk suamiku sendiri?

"Mah?"

Aku menoleh. Anjar, anakku. Aku mengecup dahinya dengan sayang. Aku merasakan rasa yang berbeda, pahit. Aku mengerutkan kening lalu menilik dahinya. Krayon. Aku melihat dibalik punggungnya dia menyembunyikan sehelai kertas lainnya. Aku mengambilnya. Anjar tertawa lalu pergi. 

Gambarnya sederhana. Dua kotak persegi panjang berwarna hitam. Di kotak pertama tergambar gambar muka seorang laki-laki diatasnya dan dikotak lainnya tergambar muka seorang perempuan yang bibirnya bercap bibir merah. Entah kenapa aku menjadi penasaran. Perlahan aku meninggalkan ruang tengah yang masih dipenuhi sanak keluarga dan tetangga yang tengah berbela sungkawa. Aku menuju kamar. Kuraih kemeja suamiku. Ada cap bibir merah disana. 

Aku semakin penasaran. Kubuka laci meja, kuambil HP suamiku. Cek kotak masuk pesannya. Tidak ada yang aneh. Kuputuskan untuk melihat ke kotak terkirim. 

Terimakasih untuk malam ini wanita berbibir merahku.

Kurasakan badanku bergetar. Pintu terbuka, aku hampir saja terlonjak. Anjar ada disana. Tersenyum lebar sambil mengasongkan botol kecil hitam.

Sekarang aku mengerti.

Merah Tak Berarti Tanpa Putih

Oleh : Menikha Maulida
@menikha

      Merah itu berani. Merah itu amarah. Merah itu simbol warna kegagahan. Lain halnya dengan putih, putih itu suci. Putih itu damai. Putih itu lembut, selembut kembang desa dengan kepang kudanya juga selembut pengharum pakaian yang biasanya disuguhkan agak lebay pada iklan di televisi. Merah dan putih sangat kontras. Mereka berbeda satu sama lain. Apalagi dilihat dari makna warna tersebut. Tapi, adakalanya merah tak akan berarti ketika tidak ada putih. Coba kamu pikir, kisah bawang merah dan bawang putih. Kalau pemeran utamanya itu hanya bawang putih, pasti kisah itu tidak akan indah seperti sekarang. Ceritanya pun pasti akan membosankan. Maka dari itu, dibuatlah tokoh antagonis, si bawang merah untuk memperindah jalannya skenario kehidupan si bawang putih.
      Selain itu, coba kalian perhatikan warna bendera sang saka milik Indonesia. Hanya ada dua komponen warna di dalamnya, yaitu merh dan putih. Apa yang terjadi jika warna bendera itu hanylah merah? Atau sebaliknya, jika warna bendera itu hanyalah berwarna putih? Pasti akan sangat jauh tidak bermakna. Warna merah dan putih itu merupakan satu kesatuan. Menurut saya, dari kedua warna itu melambangkan juga agar masyarakat Indonesia bisa bersatu. Dari bermacam-macam suku, ras dan budaya akhirnya menjadi satu seperti apa yang sudah dijelaskan tadi, merah dan putih tidak menyatu namun satu sama lain saling melengkapi. Akhirnya sang saka merah putih pun dijahit oleh Ibu Fatmawati untuk disatukan. Tanpa merah, putih pun tak berarti. Begitu bangganya ketika bendera itu berkibar di atas tiang dengan tertiup ngin yang melambai. Aduhai indahnya.
      Kisah bawang merah dan bawng putih sudah. Bendera sang saka juga sudah, dan sekarang bubur merah dan bubur putih. Mungkin hal ini tidak terlalu umum, biasanya yang mengetahui hal ini adalah orang-orang yang berada di kawasan kota “coret” alias kabupaten. Sudah menjadi tradisi, jika seorang bayi yang baru lahir ingin diberi nama biasanya diadakan syukuran dan di dalam nya itu ada sebuah “berkat” yang berisi beberapa macam makanan, makanan wajibnya adalah bubur merah dan putih. Jika salah satu bubur itu tidak ada maka tak berarti apa-apa, jadi kedua jenis bubur itu sudah menjadi paduan yang amat sakral. Apa maknanya? Entah. Itu sudah menjadi adat istiadat turun temurun dari nenek moyang. Tanpa ada bubur merah, bubur putih tak berarti.
      Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa merah bisa berdiri sendiri tapi notabenenya merah membutuhkan putih. Suatu amarah bisa diredam dan akan menjadi damai. Merah Tak Berarti Tanpa Putih.

Cerita Merahku

 Oleh: Yudhistira Dwi A.
@yudhistiradwi / http://pintabo.blogspot.com
Hari Senin kemaren aku pergi ke sebuah perkemahan, entah kenapa semua tenda di sana berwarna merah. Setelah kutelisik dengan seksama ternyata mereka adalah anak-anak dari SD Mawar Merah. Tiba-tiba seorang anak menyampiriku dan berkata padaku, “Kak, mau liat rapotku ga?”. Ia pun menyodorkan sebuah rapot bersampul merah. Ketika kubuka rapot tersebut tertera sebuah nama yaitu Bara Saputra. Ketika kubuka halaman berikutnya, aku pun berdecak keheranan. “Kenapa ini rapot nilainya merah semua?”, pikirku. Lalu, aku pun memandang wajahnya yang lugu dan berpipi merah tersebut. “Gimana kak? Keren kan?”, tanyanya dengan semangat. “Eh? Iya iya keren.”, aku menjawab terbata-bata. Lalu aku pun bergegas meninggalkannya. Tanpa sengaja aku melewati jemuran di sebelah tenda kemahnya, tergantung banyak celana SD yang berwarna merah
 
Aku pun mendirikan tenda di dekat sungai biar mudah mengambil air. Lalu ketika aku ingin mengambil kayu bakar untuk membuat api unggun, aku tidak sengaja tersandung akar pepohonan. Aku pun terjatuh ke sebuah jurang. Saat sadar tangan ku sudah merah kebiruan, kakiku berwarna merah karena darahku mengalir dengan derasnya, dan dadaku berwarna merah karena tertabrak ranting saat jatuh.
 
Aku pun teriak sekencang-kencangnya. Tapi, tiba-tiba aku terbangun di tengah-tengah pelajaran matematika. Wajahku pun memerah karena merasa sangat malu. Sedangkan guruku wajahnya memerah pertanda hal yang tidak baik. Walhasil pipiku menjadi merah karena ditampar dan telingaku merah karena dijewer serta nilai matematikaku yang merah karena tidur di kelas.

Itu ceritaku, mana ceritamu?

YANG PENTING MERAH!!!

Tema 5 Juli 2011

Halo. Siap untuk tema malam ini?

Untuk mengisi malam Selasa ini kami akan memberikan tema "MERAH" yang akan menjadi bahan tulisan kalian. Apa yang ada di pikiran kalian setelah mendengar kata itu? Tuangkan ide kalian sebaik-baiknya lalu seperti biasa akan kami tunggu sampai jam 10 ya! :)

Yang Terbaik Dari "Senin"

Selamat malam #smandacivil :D

Karya yang masuk untuk tema "Senin" kali ini beragam ya ceritanya, tapi seperti biasa hanya satu yang berhak menjadi predikat hasil karya terbaik untuk tema kemarin malam. Lalu? Siapa yang menang?

Dan... kami sepakat untuk memilih Tasya dengan karyanya yang berjudul "Senin Bahagia atau Duka?". Kenapa? Cara berceritanya yang rapi, tidak membosankan dan berakhir dengan akhir yang tidak terduga. 

Selamat untuk Tasya, terus menulis ya! :)

Senin Kelabu untuk Nasionalisme

Oleh : Menikha Maulida
menikha.blogspot.com
@menikha

Semua orang merasa sedikit tak bergairah di hari Senin.
Dengar, kami mengerti. Kau sama saja seperti kita semua, yang akhirnya mulai bersenang-senang selama akhir pekan hanya untuk menyadari bahwa masa menyenangkan kurang dari satu hari lagi. Setelah itu, kebahagiaan yang terlibat dalam satu hari istirahat akhirnya dilengkapi dengan kesadaran bahwa Senin akan segera datang. Senin itu suram dan kelabu. Senin itu tak punya arti keindahan sedikitpun. Senin itu.. hari yang sulit didefinisikan. Hujan di hari senin. Langit menghitam seolah akan turun hujan. Semakin terasa kelabu Senin ini. Mengapa setiap hari Senin pelajar dan pekerja harus kembali sibuk? Mengapa harus ada hari Senin? Senin hari ini kacau, tak seperti Senin yang biasa ku lewati. Tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Ada banyak lonjakan emosi, tapi apa mau dikata sulit rasanya ingin berbuat. Hanya bisa diam dan meredam emosi ini dengan sendirinya. Apa yang kalian pikirkan pada hari Senin? Malasnya upacara. Malasnya beraktivitas setelah tersedia hari Minggu dimana waktu untuk santai.

Menurut Psikolog Inggris Cliff Arnall, semua perasaan sedih memuncak pada Hari Senin ketiga Bulan Januari. Ia menyebut ini sebagai 'Blue Monday' atau 'Senin kelabu'. Sungguh itu bukan suatu opini melainkan fakta. Senin memang kelabu. Lagi lagi harus upacara bendera. Mungkin tidak begitu menyedihkan mengikuti upcara apabila Pembina yang menyampaikan amanat berbaik hati. Dua puluh menit lebih Pembina berbicara di atas mimbar belum lagi susunan upacara lainnya. Rasanya kaki ini sudah tidak sanggup untuk berdiri. Bergetar, lemas dan lunglai kaku. Padahal, belum tentu semua siswa mendengarkan amanat tersebut.

Pikir saya dalam hati, “Kemana nasionalisme yang telah diajarkan oleh orang terdahulu?” .

Upacara bendera pada hari Senin kelabu saya yakin itu hanya formalitas bagi siswa. Tak ada yang mengambil makna serta manfaat dari upacara tersebut. Hanya gerutu dalam hati yang akan terus menjadi dosa. Mungkin mereka tahu apa maksud upacara tapi tetap saja yang mereka lakukan setiap hari Senin kelabu itu adalah perintah dari sekolah untuk mengikuti secara wajib agenda rutin setiap minggu itu. Bisa dibuktikan, jiwa nasionalisme kini mulai rapuh khususnya bagi para remaja. Mulailah dari hal kecil, jika untuk melaksanakan upacara saja tidak mau, bagimana kalian menghargai jasa para pahlawan? Padahal tahun ’45 dulu, orang-orang bersusah payah untuk melaksanakan upacara bendera hanya untuk mengibarkan sang saka merah putih. Kini, orang-orang malah bersusah payah untuk menghindari hari Senin kelabu agar tidak mengikuti upacara bendera. Ironis memang. Tak ada semangat nsionalisme di hari Senin. Sekali kelabu tetaplah menjdi kelabu.