Sabtu, 15 Maret 2014

Tulisan Endapan Kopi

Oleh  : Larassati Rna
Kelas : XI IPA 9

 “Bodoh”, pekik Rana seraya mencoret tulisannya sendiri. Sudah banyak halaman yang ia robek. Semuanya tergumpal dan berserakan di mejanya. “Ayolah berpikir, Rana. Berpikir”. Tapi kepalanya seperti berhenti. Tidak ada imaji yang memenuhi kepalanya, pun kata yang menggerogoti tenggorokkannya.
Malam ini, semuanya mati rasa.
Rana memandangi lagi tulisan-tulisan yang sudah tidak terbaca itu. Ia meringis, lalu merobeknya. Rana teguk kopi cepat-cepat, seakan semua kata-kata yang dibutuhkannya terendap di dalamnya.   Tapi tak ada apapun selain pahit.
Ponsel genggamnya tiba-tiba bergetar, telpon dari Tanya.

   “Ran? Lo masih idup?”, tanya Tanya seketika telpon terangkat.
   “Nya, bacain gue puisi”
   “Wait, what?”, Tanya terdengar terkejut di ujung telpon. “Puisi?”
   “Iya cepet. Bacain gue puisi apa aja”, tukas Rana tanpa menggubris keterkejutan Tanya, “Atau, atau nyanyi aja deh”

Ada keheningan sesaat. Tanya masih berusaha  mencerna permintaan Rana yang tiba-tiba, “Buat apa, Ran?”
Rana tidak menjawab. Ia menghela napas berat dan memandang sekitarnya.  Kamarnya tampak tak karuan. Pantas saja. Kamar seperti ini bisa melahirkan imaji apapun.

    “Ooh.. gue tau. Lo pasti lagi stres ngejar deadline ya?”, Tanya terkekeh.
    “Jangan ketawa lo. Gimana nih? Stuck. Gue gak ada inspirasi sama sekali”, Rana mengeluh.
    “If you wait for inspiration to write, you’re not a writer”, Rana bisa merasakan senyum Tanya ketika mengucapkannya, Tanya melanjutkan lagi, “you’re a waiter”
    I don’t want to be a waiter” , pungkas Rana cepat.
    “Kalau begitu jangan menunggu inspirasi. Tulis saja. Tulis apapun. Writer or Waiter. You choose
   “Gue udah nulis macem-macem berlembar-lembar tapi enggak ada hasilnya, Nya”, tukas Rana seraya memainkan gumpalan kertas dari mejanya.
    “Lo kebanyakan mikir”
    “Kalau nulis emang harus mikir!”
   “Menulis itu dari hati. Seperti pelukis. Pelukis gak pakai matematika buat menggerakkan kuasnya. Tapi pakai hati. Gerakin pulpen lo pake hati. Jangan otak doang, Ran. Jangan karena tekanan deadline”.
Rana terkesiap mendengarnya. Benar. Tanya benar. Sedari tadi, yang ia lakukan hanya berpikir tentang deadline yang mulai menggedor-gedornya. Tapi tidak memberi kesempatan hatinya untuk terbuka. Yang bergerak hanya jarum jam, tapi tidak hatinya.
    “Ketika novel gue jadi, nama lo bakal ada di halaman Thanks To
    “Dibold, ya”, Tanya tertawa.
    “Bold, italic, underline dengan huruf kapital”, imbuh Rana, ikut tertawa, “Terimakasih atas quote tadi. Super sekali, Mba Tanya. Bakal gue masukin di novel nanti”
    “Oke. Jangan lupa tambahin nama Dan Ponyter di bawahnya, ya”
    “Lho? Itu bukan bikinan lo sendiri?”, Rana menaikkan alisnya, tapi kemudian tertawa, “Gak jadi super deh, Mba Tanya”
    “Hahaha, yasudah sana, lanjutin lagi tulisan lo! Kalau udah kelar kabarin, ya!”
Rana mengiyakan, mengucapkan terimakasih lagi, dan menutup sambungan. Ia memandang halaman kertas kosongnya lagi. Kini sambil tersenyum sumringah, “Let’s do this”

***

Halaman itu mulai penuh dengan tulisan-tulisan acak, namun terbaca dan lebih sistematis. Rana mengagumi halamannya lagi. Imaji sudah tumpah ruah ke kertas itu. Ternyata sedari tadi, imaji tidak bersembunyi di endapan kopi.
Rana meraih gelas kopi dengan tangan kanannya, sekaligus meraup telpon genggam dengan tangan kiri untuk mengecek jam. Tetiba, ponselnya bergetar mengejutkannya.

Prakk!
Gelas itu terjatuh dari genggamnya. Mendarat dengan posisi miring di meja. Rana terlambat. Kopi yang masih tersisa telah merambat turun, melembar, dan merembes di pori-pori kertasnya.
Kertas yang baru saja dikaguminya.
    
     “Ran? Gimana tulisan lo?”, suara Tanya terdengar berdenging. “Ran? Lo udah selesai belum? Kok diem?”
     “Tanya”, lirih Rana, memandangi dengan tidak percaya kertas kecoklatan di hadapannya.
     “Ya? Kenapa, Ran? Lo udah selesai? Gimana, gimana?”, Tanya terdengar tidak sabar di ujung telpon.

Ada keheningan panjang setelahnya, sebelum membuka mulut lagi, Rana berteriak frustasi, “TANYASYA PUTRI GUNAWAN. GUE GAK AKAN NULIS NAMA LO  DI DALEM NOVEL GUE!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar