oleh: Rizki Amalia Laksmiputri
@ikeelaksmiput
Den Haag,4 Oktober 2011
Dari sebuah jendela terlihat seorang gadis sedang mengobrak-abrik isi laci putih kecil di atas mejanya. Wajahnya menyiratkan kekesalan,mencari sesuatu yang belum berhasil ditemukannya. Syal coklat yang dililitkan di lehernya mulai basah,ternoda keringat walaupun disana musim dingin melanda.
“Syaaaaa,what are you doing? HURRY!”teriak seseorang dari lantai bawah kepada gadis bersyal coklat.
“Wait for me,mom. I’m still looking for my new hair tie”jawabnya sambil sedikit berteriak. Dia masih mencari,mengobrak-abrik isi lacinya. Tiba-tiba gerakannya terhenti saat melihat suatu barang kecil berwarna ungu,matanya memerah seperti hendak menangis,ia memikirkan sesuatu. Flashback....
***
Cirebon,24 Juni 2011
“Kalian semua disini satu angkatan,kalian satu keluarga disini. Liat ada temen kalian dikasih hukuman,kalian gak bantu hah? Mana kekeluargaan kalian?!!”teriak seorang laki-laki yang memakai ID Card hijau.
“Tasya!” ujarnya sambil setengah berteriak.
“Siap!”jawabku
“Kamu liat ada temen kamu di depan sana? Kenapa kamu ga bantu dia? Dia temen kamu,keluarga kamu sendiri!”
“Hm siap mas tapi menurut saya sendiri,dia memang berbuat kesalahan jadi untuk apa saya membela yang salah? Memang kesalahan dia sendiri kehilangan pita nyawa”jawabku pelan,agak ragu.
“Dia emang salah,pita nyawa emang penting tapi apa kamu yakin kehilangan pita nyawa harus diganti konsekuensi push up 50kali? Walaupun dia salah,seengganya kamu bisa bantu dia untuk ngeringanin hukuman. Sekarang juga kamu bantu temen kamu itu,cepet balik kanan,maju ke depan” aku mengikuti perintahnya untuk maju menuju kakak panitia.
“Interupsi mba,saya mau ngebantu temen saya. Saya mau ngeringanin hukuman dia,walaupun emang dia salah tapi menurut saya kesalahan ‘tanpa pita nyawa’ ngga sebanding dengan push up 50kali”ucapku tegas. Mba panitia berID Card merah itu langsung menengok ke arahku. Badanku bergidik ngeri.
“Oh sok pahlawan ya kamu? Coba liat kamu sendiri bener ga? Papan nama aja masih digunting,ko sok pahlawan. Kamu ngerasa bener? Apa kamu....”ucapannya terhenti.
“PANITIA CUKUP! Semua panitia diharap kembali ke sumber suara,akan diadakan apel sore sekaligus penutupan”teriak ketua Osis. Mba berID Card merah itu pun tersenyum tipis,lalu meninggalkan kami. Sungguh,teriakan ketua Osis itu benar-benar layaknya panggilan surga. Mas-mba panitia pun berjalan ke arah sumber suara.
“Eh makasih ya”ucap perempuan yang tadi hendak ku bela,tersenyum padaku. Aku hanya tersenyum lalu kembali ke barisan.
Apel penutupan pun dimulai,matahari pada pukul 4sore itu tidak terasa panas. Awan mendung menutupinya,angin yang sepoi-sepoi pun menyejukkan. Membuat rambut para gadis-gadis SMA berkepang 13 ini terangkat angin perlahan.
Apel selesai. Tiba-tiba dari lantai atas,beberapa orang menyiram ember-ember penuh berisi air bunga. Sebagai tanda,bahwa acara ini telah selesai. Kami telah berhasil dididik menjadi calon manusia yang lebih bertanggung jawab,lebh berjiwa pemimpin. Para panitia berID Card merah,biru dan hijau tersenyum sambil bertepuk tangan pada kami semua,seangkatan. Wajah mereka benar-benar terlihat bangga.
“AYO SEMUA KUMPUL DI LAPANGAN! KITA TOS”teriak salah seorang panitia. Kami semua langsung berlari ke tengah lapangan layaknya semut yang mengerubungi gula. Dengan bangga,kami teriakan “VIVA SMANDA!!!”
Gerombolan itu mulai memencar,kebanyakan ke kantin membeli minum. Aku? Aku langsung berlari mencari teman-teman sekelasku. Kami semua berpelukan,erat,sangat erat. Kami sadar,ini adalah momen-momen terakhir kami melakukan hal bersama-sama. Bersama keluarga sepuluh lima atau yang biasa kami sebut MTV (Member of Ten fiVe). Awalnya kita hanya berpelukan,tertawa-tawa,hingga...
“Bentar lagi kita pisah kelas,pasti aneh rasanya”Lala bergumam sedih. Pelukan terlepas. Teman-teman lain pun menimpali dengan sedih juga atau menghibur. Ramai sekali.
“Kalian bakal pisah kelas ya? Tasya bakalan pisah sekolah sama kalian”ucapku pelan namun tampaknya mereka semua mendengar. Mereka semua diam,aku hanya tersenyum getir.
Mereka memelukku lagi,lebih erat dari sebelumnya. Lebih sepi dari sebelumnya. Aku pun diam. Aku bukan seorang mind-reader yang bisa membaca alasan mereka terdiam. Tapi aku? Aku diam karna aku tau,ini pelukan terakhir mereka. Ini tawa dan tangisku yang terakhir bersama mereka,setelah ini mungkin tak ada aku lagi. Mungkin hanya akan ada Lala, Tika, Diya, Rina, Manda, Tama, Ramadhan dan Sakti sebagai grup hura-hura di kelas. Grup hura-hura tanpa aku. Mungkin kelas sepuluh lima hanya diingat sebagai kelas bermurid 29 orang,bukan 30. Tanpa aku.
Kau tau apa yang menyakitkan dari sebuah perpisahan? Dilupakan.
***
Flashback berhenti...
Mata gadis itu mengerjap-ngerjap,membuat bulir air matanya jatuh perlahan. Dia mengambil barang kecil itu dari lacinya lalu bangkit. Ia meraih sisir lalu mulai mengikat rambut tipisnya sambil menghadap ke cermin.
“Tasyaaaaa,come on!” teriak seseorang dari lantai bawah.
“Yes Mom,wait a minute”
‘Gue udah ga di smanda tapi hati gak bisa boong,gue masih sayang banget sama smanda. Gue harap dengan benda ini gue ga akan lupa sama smanda dan semua kenangannya. Begitu pula mereka semua,semoga ga lupa sama gue’
Gadis itu tersenyum,memasangkan benda itu di rambutnya.Sebuah benda yang disebut pita nyawa. Lalu tersenyum bangga sambil menggumam “Viva Smanda!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar