Sabtu, 02 Juli 2011

Secret Admirer

Oleh : Dzikril Hakim
@hakimdzikril

      Waktu menunjukkan pukul 2.30 saat aku menyelesaikan tugas kuliah ku. Dengan tergopoh aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Menelusuri lorong asrama yang lebih nampak seperti sebuah lorong tanpa batas dengan hanya sebuah cahaya terang kekuning-kuningan di ujungya.
      “Ah segar sekali” kata ku dalam hati, sepertinya aku mulai menjalani kehidupan nocturnal setelah kuliah. Jam istirahat yang teriris tugas telah membuat lingkar mata ini mulai menghitam. “ah.. ternyata sekarang tanggal 21 juni, kana da hujan meteor? “ pikir ku. Bergegas aku menuju atap asrama menelusuri tangga-tangga besi berkarat setinggi 3 lantai. Bangunan asrama yang mulai tergerus usia nampak meniggalkan sepenggal cerita di dalamnya. Bangunan kotak dengan luas kira-kira delapan kali lapangan bulu tangkis ini dulu pernah melegenda, bukan karena keindahan bangunannya, bukan pula karena keramahan orang di dalamnya, apa lagi fasilitasnya, melainkan karena cerita misteri yang ada di dalamnya.
      “Hosh hosh hosh “ dengan nafas yang tersenggal-tersenggal aku sudah sampai di atap, sepertinya menaiki tangga dengan kecepatan yang cukup tinggi mampu membuat orang lebih sehat. Malam itu langit nampak berseri, di temani berjuta bintang terselip sebuah senyum malu sang rembulan dari balik awan. Sekilas beberapa meteor mulai bermunculan, saat itu juga kamu mulai terbayang. Akhir-akhir ini entah kenapa kamu selalu muncul. Selalu memberiku semangat, selalu memberiku senyuman. “andai kamu ikut melihat hujan meteor ini.. ah sudahlah” . Seingatku suhu malam itu kurang lebih 20° C terlihat dari termometer yang terpajang di dalam kamarku, cukup dingin membuat aku semakin menutup rapat jaket ku.
      Keindahan malam yang mungkin kamu juga akan terkesan jika melihatnya. Tangan ini mulai mencari benda yang mungkin tertingal di saku celana ku, handphone. Setelah mengambil beberapa foto bintang malam itu, tiba-tiba ada niatan untuk menelepon kamu, membangunkan tidur panjang mu agar kamu melihat salah satu fenomena langit malam ini. Tapi apa daya, tidak mungkin ku hubungi kamu saat ini. Mengingat kamu sudah cukup untuk membuat lesatan meteor-meteor di langit malam semakin jelas di mataku. Senyum yang kamu berikan sudah cukup memberi energi tambahan dalam tubuhku. Sudah enam tahun sejak kita pertama kali kita bertemu, sampai kejadian dua tahun lalu yang telah membuat tubuh dan perasaan ini jatuh.
      Sudah hampir 30 menit aku terus memandangi langit malam, mungkin sudah ada 100 meteor yang telah aku lihat. Hanya angin yang mampu mengusirku dari atas atap asrama. Bergegas aku turun ke lantai dua, tempat dimana terkadang aku menghabiskan malam ku disana, mengerjakan tugas, bermain playstasion bersama teman-teman. Gelap memang, lampu lorong yang sampai saat ini belum diganti juga meskipun kami sudah mengadukannya ke kepala asrama membuat langkah kaki ini semakin dipercepat. Suara denyit lantai papan yang dipijak mengiringi langkahku meninggalkan lorong asrama di lantai dua itu.
      Sambil meregangkan badan aku mulai duduk di atas tempat tidur, seolah ingin melepaskan berbagai kepenatan hari ini. Membujurkan badan ke arah barat agar bisa melihat jam dinding  yang masih berdetak. Tiba-tiba aku kembali mengingat kamu, aku ambil sebuah foto yang berbingkai kayu abasia berwarna coklat tua dengan bentuk persegi di atas meja persis di sebelah tempat tidur ku, dan aku berucap “ andai kamu masih hidup ri, mungkin kita bisa melihat hujan meteor bersama tadi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar