Kelas : X MIA 9
Aku duduk terdiam di kasur, sambil memandang langit-langit kamar yang tinggi. Seharusnya ini membuatku tenang, tapi aku malah merasa sesak. Terlalu banyak masalah yang kudapatkan belakangan ini. Entah kenapa segala sesuatu serasa berteriak dan menantang kepadaku. Rasanya seperti anjing yang menggonggong ingin bertengkar engan seorang kucing, tapi bukan hanya satu ekor, namun beberapa anjing. Aku merasa kasihan pada lamunanku sendiri, bagaimanapun juga kucing itu terasa menyedihkan. Dan rasanya aku mengerti.
Aku mencoba menghela nafas secara teratur, alih-alih merasa tenang, aku merasa lebih sesak lagi. Marah, sedih, kecewa, frustasi, dan benci, segalanya bergejolak didalam menjadi satu. Bagaimana bisa semua hal bisa berjalan seburuk ini. Apa mereka semua mencoba mengujiku, melihat seberapa besar kekuatanku.
Menguji...
Yah, ini ujian. Tapi ujianpun seharusnya ada batasnya. Aku bisa saja meledak saat ini. Marah pada semua orang, yang begitu egois dan tidak mau mengalah, marah akan semuanya.
Kenapa harus ada ujian jika aku merasa aku sudah cukup kuat? Aku memandang langit-langit lagi, dan sesuatu muncul di benakku. Diatas langit masih ada langit. Aku tersadar, ujian ini datang semata-mata untuk membuatku lebih kuat lagi, bukan untuk mengetes sejauh mana kekuatanku. Dan kapan akhirnya langit akan habis, kapan saat diatas langit tidak akan ada langit lagi, pikirku. Dan jawaban dengan sendirinya datang, saat kita sudah tidak bisa melihat langit lagi. Mati.
Yah, itu pasti. ujian akan selalu datang, dan semata-mata untuk membuatku makin kuat dan dewasa.
Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkan semua orang tahu tentang perasaanku agar aku merasa lebih tenang? Tapi bagaimana caranya? Haruskah aku berteriak dan marah, agar akhirnya semua orang sadar, bahwa aku sudah tidak tahan lagi? Haruskah aku melampiaskannya begitu saja?
Tunggu, apa tadi tujuan ujian-ujian ini? Ah ya, untuk membuatku lebih kuat dan dewasa. Jika aku melampiaskannya begitu saja, itu malah membuat masalah semakin pelik. Kekanak-kanakan.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan, bersabar dan berusaha sebaik mungkin. Mengurung diri di kamar bukanlah usaha yang terbaik. Namun keluar dari sini dan menghadapi semuanya dengan senyuman, itu baru namanya heroik.
Aku bangun dari kasur, berjalan ke pintu. Aku menghela nafas panjang. Ini yang terbaik, pikirku. Saat melangkah keluar, aku bisa merasakan senyuman di wajahku. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar