Oleh: Aulia D Putri
Kelas: X IPA 2
"Fyuhh", terdengar helaan nafasku setelah berlari dari gerbang tepat sebelum bel berbunyi. Aku segera berlari ke kelas agar tak terlambat semenit pun dalam pelajaran Miss Flo. Aku tak peduli meskipun wajahku memerah dan beberapa kali aku hampir terjatuh karena menabrak orang. Tujuanku satu, tak ingin dihukum oleh Miss Flo. Beruntung saat aku datang Miss Flo belum ada di kelas. Ann, teman sebangkuku langsung bersorak saat melihatku di depan pintu. Dengan segera aku duduk dan mengatur nafasku agar tak terengah-engah.
Aku berpikir keras pelajaran apa lagi yang akan beliau berikan kepada kami. Tiba-tiba Miss Flo masuk dan membagi kami dalam 8 kelompok. Dalam hati aku mengutuk Miss Flo karena menempatkanku 1 kelompok dengan Sharom, anak misterius di kelas. Beruntungnya, aku masih sekelompok dengan anak lain, yaitu Danny dan Joe. Setelah itu, kami diberi tugas untuk meneliti keadaan lingkungan sekitar dan melaporkannya dalam bentuk explanation text. "Ahh, tugas macam apa ini", pikirku dengan perasaan tak karuan.
Saat istirahat, Sharom menghampiri mejaku.
"Rachel, hari ini kamu ada kegiatan ga? Ke rumahku yuk, di rumahku ada taman yang bisa jadi bahan untuk tugas Miss Flo", tanya Sharom dengan hangat.
"Ehm.. Ga ada. Oke, kita kerjakan sepulang sekolah ya", ucapku dengan jawaban sekenanya.
Aku masih tak percaya dengan ajakan Sharom, kupikir iya anak misterius. Ternyata ia bisa ramah juga, ah sudahlah mungkin ia sudah sadar kalau ia perlu mencari teman, pikirku menerka-nerka.
Sepulang sekolah, kelompokku pergi ke rumah Sharom. Tak ku sangka, ternyata ia tinggal di perumahan elite. "Wajar saja kalau di rumahnya terdapat taman yang indah", ujarku dalam hati. Banyak hal tentang Sharom yang tak kuketahui sebelumnya terjawab disini. Hari ini seakan hari dimana aku terus ternganga melihat keseharian Sharom. Awalnya aku mengabaikannya, tapi setelah ia banyak berceloteh aku pun terlena dan ikut mengomentari celotehannya. "Sharom ternyata asyik", pikiranku melayang mengingat kejadian di mobil.
Sambil menunggu Sharom, Danny dan Joe bermain video games di ruang keluarga, sementara aku diminta menunggu di kamarnya. Tiba-tiba mataku tertuju pada botol unik berwarna merah dan biru. "Mungkin isinya ramalan", pikirku sekenanya. Aku segera mengambil isi botol berwarna biru yang ternyata isinya lebih banyak. Aku membuka gulungan kertas itu dengan harapan mendapat ramalan yang baik. "Hari ini Bella baik sekali memberiku sebagian dari isi bekalnya", dengan bingung aku mencoba membuka isi gulungan kertas kedua. "Senyum Rachel padaku hari ini manis sekali, aku senang ia mau berteman denganku".
Aku mulai menyadari bahwa gulungan kertas itu merupakan diary Sharom. Entah sejak kapan Sharom sudah berada di belakangku. Aku merasa bersalah dan segera membereskan kedua botol tersebut. Sharom terdiam dan tiba-tiba tersenyum "Kamu baca isi gulungan itu ya?", tanya Sharom pelan. "Iya, maaf ya. Ku pikir itu ramalan", ucapku yang disambut dengan kebisuan Sharom. Pikiranku kacau dan dengan spontan aku membatalkan kerja kelompok hari ini dengan alasan sudah ditelepon mama.
Keesokan harinya, aku tak berani menatap Sharom. Aku masih bingung bagaimana harus bersikap padanya. Sepulang sekolah, Sharom memberiku surat. Anehnya, Sharom tak marah padaku, bahkan ia mengajakku ke pantai. Aku masih tak mengerti namun aku mengangguk tanda setuju saat Sharom memberi kode tentang jawaban suratnya. "Ahh, sabtu ini akan jadi hari yang berat untukku", ucapku dalam hati.
Hari sabtu pun tiba, aku dan Sharom pergi ke pantai yang kebetulan jaraknya 30 menit perjalanan dari rumahku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing dan tak bicara sepatah kata pun dalam mobil.
Di pantai, Sharom mengeluarkan kedua botol yang berisi diary itu. Aku pun tercengang dan berpikir bahwa Sharom akan marah padaku.
"Aku mengajakmu kesini untuk menjelaskan isi botol ini", ujar Sharom memecah keheningan.
"Kedua botol ini adalah diaryku. Yang merah berisi keburukan dan yang biru berisi kebaikan. Aku membuat diary dalam botol agar aku bisa membuang jauh-jauh kenangan burukku. Kalau aku kesal pada kalian, aku membuka botol biru ini agar aku ingat kebaikan kalian sehingga kemarahanku reda", jujur Sharom.
"Maaf aku membacanya", ucapku penuh rasa penyesalan.
"Tak apa, lupakan saja. Aku tahu kamu tak bermaksud begitu. Nah ayo kita buang botol merah ini, tak baik menyimpan keburukan orang terlalu lama", ajak Sharom sambil menarikku untuk berlari di sepanjang bibir pantai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar