Sabtu, 09 Juli 2011

MAAFKU UNTUK BIOSKOP

Oleh: Dita Sesylia

Ku melangkah haru menutupi diri yang tengah bersedih dengan selendang sutra yang ku kenakan. Menyusuri anak tangga satu per satu. Langkah kakiku seirama dengan langkah hatiku, perlahan, namun ku pastikan diriku mampu memijakki anak tangga yang terakhir. Pupilku melebar saat kudapati diriku telah menggapai puncak. Karpet merah marun menyelimuti seisi ruangan. Lampu yang berceceran di langit-langit tidak menampakkan sinarnya dengan jelas. Inikah tempat remang-remang itu? Inikah tempat berjualan para prostitut menderetkan dagangannya? Inikah tempat mereka bebas bermaksiat?

Hatiku yang awalnya berirama seperti lagu nan menusuk kalbu kini berirama mendebarkan rasa. Jantungku berdetak kencang, otakku berpikir; jalan mana yang harus ku ambil? Tetap disini melihat suatu transaksi atau meninggalkan tempat ini menyelamatkan diri yang mungkin saja akan ada razia. Tapi mengapa Kakakku memberikan secarik kertas untuk memasuki semua ini padaku? Apakah Kakakku serigala berbulu domba? Tidak! Kakakku yang selama ini menyayangiku tak mungkin melarutkanku dalam hal seperti ini, kata-katanya sembari memberikan secarik kertas ini pun nadanya hanya ingin menghiburku, dan sekarang salahkah aku untuk tetap berada disini karena Kakakku?

Tanpa berbekal membaca sepatah katapun dalam secarik kertas yang diberikan Kakakku itu dan berbekal kepercayaanku pada dia, ku beranikan diri tetap berada disini. Lantas kucari tepat duduk yang tertera dalam secarik kertas berbeda yang diberikan penjaga ruangan ini setelah ku berikan secarik kertas yang ku miliki dari Kakakku. G8. Ku melihat kanan-kiriku, hampir semua duduk berpasangan dan tepat di pojokkan tiap barisan. Membuatku semakin meyakini bahwa inilah tempat maksiat itu, dan sekali lagi, ku bantah semua itu seakan tak ada dan ku tetap disini hingga ku temukan kursiku, G8. 

Ku duduk tenang seolah pikiran yang menggangguku tadi sama sekali tidak pernah muncul. Kuusap titik-titik air mataku. Mengangkat daguku. Seolah diriku yang tegar dan pemberani. Ku coba mengerlingkan mataku, suasuana tetap seperti tadi, ditambah tatapan aneh mereka pada diriku, tak ada yang istimewa. Ya, mungkin akulah yang aneh, aku mengalah, karena inilah pertama kalinya kuinjakkan kakiku di tempat seperti ini.

Tak lama kemudian terdengar suara dentingan nada menandakan adanya informasi, ku dengar pembicara berulang kali menyebutkan kata 'bioskop', mungkinkah ini bioskop? Lampu pun dimatikan, hawa makin terasa dingin, dinding di depan yang semula kosong, kini mejadi layar lebar. Simpulan senyum mulai muncul, berbinarnya mata telah dimulai, aku terkesan. Layar lebar itu memunculkan film komedi dengan efek suara yang amat mendukung. Kira-kira dua jam lamanya aku betah duduk disini. Hati yang bersedih dan gundah telah disembuhkannya, kini ku tak bersedih lagi.

Jadi inilah bioskop, tempat orang-orang mendapatkan hiburan dengan film yang diputarnya sesuai kebutuhan masing-masing, termasuk aku. Bahkan durasi yang diberikan tak cukup bagiku, memberikanku candu untuk kembali. Seandainya saja bioskop adalah manusia, kuingin mengucapkan maaf sebesar-besarnya karena telah berprasangka buruk terhadapnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar